Di sebuah kamar aesthetic berhias berbagai ornamen yang memanjakan mata, serta kombinasi warna pastel pada cat dinding Fara terlihat sangat senang dan bersemangat dalam memilih baju yang akan ia kenakan saat bertemu dengan Arka. hampir semua warna ia kenakan, mulai dari biru, putih, hitam, kuning, merah, dan abu-abu. Wajahnya terlihat sangat nervous sekali, bagaimana tidak ini kali pertamanya Arka mengajaknya bertemu berdua. Biasanya mereka selalu ditemani oleh Ridwan atau Pak Adam. Lagipula Arka terkenal dengan sifat cuek dan dinginnya. Jadi, bisa diajaknya bertemu merupakan sebuah kehormatan yang tak boleh disia-siakan. Fara masih sangat berharap jika tujuan Arka ingin mengajaknya ketemu adalah untuk menyatakan perasaannya.
“Lu harus tampil beda di depan Arka, Far.” ucapnya pada cermin sembari memilih-milih baju.
“Kira-kira apa yang mau diomongin Arka ya? Tumben banget ngajak ketemuan, apa dia mau ngungkapin perasaannya ke gue? Apa itu mungkin? Ah, stop Far. Lu tau kan kecewa bisa jadi temen lu kalau lu terlalu berharap!”
“Kenapa sih Arka susah banget buka hatinya buat cewe? Lupa password kali ya? Tapi kan gampang kalau lupa password tinggal reset ulang.”
“Apa dulu dia pernah disakitin sama cewe? Ah, engga mungkin, yang ada malah cewe-cewe yang tanpa sadar udah dia sakitin karena Arka terlalu cuek sama masalah hati. Kepo deh gue kenapa bisa cuek gitu, gue udah berkali-kali ketuk pintu hatinya tapi tetep aja gak dibolehin masuk sebagai tamu. Cuma dibiarin gitu aja di teras luar.”
“Tau deh ah, ngapain juga dipikirin. Kalau jodoh tu gak bakal lari, Far. Mau sejauh apapun dia pergi, kalau jodoh itu pasti dipersatukan kok suatu hari nanti.”
“Arka Arka lu jodoh gue gak sih?”
“Ya Allah bisa request gitu gak kasih spoiler inisial jodoh Fara? Kalau emang Arka yaudah Fara tenang, tapi kalau bukan mending hati Fara buat yang lain aja deh.”
“Udah deh sekarang mending gue netral aja. Gak usah terlalu berlebihan suka sama orang biar kalau perasaan orang itu berkebalikan sakitnya gak terlalu dalam. Santai Far santai.”
Setelah berbicara pada dirinya sendiri, Fara sudah menemukan baju pilihannya. Bukan baju baru dan berbeda dari biasanya. Justru, Fara malah menggunakan warna baju yang sangat akrab dengannya yakni dalaman baju putih dengan jaket jeans sebagai luarannya. Baginya, tampil jadi diri sendiri itu lebih istimewa daripada tampil berbeda yang membuat kita kurang nyaman. Fara pun bergegas untuk mandi membersihkan diri.
Kini ia sudah terlihat sangat cantik dengan gayanya yang khas. Perempuan yang rambutnya terurai itu langsung mengambil kunci mobil yang berada di sebuah rak lemari kecilnya di sebelah kasur. Lalu ia mengambil tas yang tergantung di balik pintu dan bercermin lagi untuk memastikan penampilannya tak mengecewakan. Fara segera melangkah menuju ke luar kamar untuk memakai sepatu dan menuju ke garasi.
“Pak Bagus minta tolong bukain pagarnya ya pak.”
“Oh iya siap neng.”
Fara memanaskan mobilnya, mengecek semua keamanan mobil sebelum berkendara seperti yang pernah diajarkan papanya demi keselamatan. Kini ia mulai menancapkan gas menuju ke halaman rumah dan keluar.
“Makasih Pak Bagus. Saya pergi dulu, saya udah ijin mama papa ya lewat chat.”
“Siap non hati-hati. Jangan pulang malam-malam ya.”
“Siap Pak. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Walau lahir dari keluarga yang berada, Fara tetap mengedepankan etikanya kepada orang tua. Bahkan ia selalu menghormati siapapun, entah itu tua atau muda Fara selalu saja tampil sederhana dan rendah hati. Tidak ada kesombongan sedikitpun dalam dirinya. Dari dulu mama dan papanya selalu mengajarkannya banyak hal tentang kehidupan, etika, dan tata karma. “Mau setinggi apapun jabatan kita, mau sebanyak apapun harta kita, mau sehebat apapun kemampuan kita. Kita harus tetap rendah hati kak dan jangan merasa kita itu tinggi. Semua itu titipan, kita dikasih kepercayaan Allah untuk jagain semua ini. Jadi, jangan disalah gunain ya? Justru malah kita harus gunain dengan baik yang bisa ngasih manfaat juga buat kita.” Kalimat dari papa Fara yang selalu ia ingat dimanapun, kapanpun, dan dalam keadaan apapun.
***
Kini Fara telah tiba di Gayanta Cafe, sebelum turun dari mobil ia ingin memastikan bahwa Arka telah tiba duluan dnegan mengecek motornya. Tak perlu melihat kejauhan ternyata motor Arka tepat berada di sebelah mobil Fara.
“Mobil sama motor kita aja selalu deket lho Ar. Kita kapan?” ucapnya pada diri sendiri. Entah ini hanya sebuah kebetulan atau bukan, tetapi memang seringkali Fara mendapati mobilnya dan motor Fara selalu saja parkir dekat baik itu di kampus, mall atau dimanapun.
Perempuan yang tampil dengan sneakers cokelat kesayangannya itu mulai melangkahkan kakinya ke luar mobil dan menuju ke dalam cafe. Saat memasuki cafe, ia melihat sekeliling untuk mencari keberadaan Arka. Tiba-tiba,
“Farasya.” sapa seseorang terdengar dari belakang, sesuai perasaannya itu pasti Arka. Fara yang menyadarinya pun langsung menghampiri Arka yang sedang duduk sendiri di sebuah sofa panjang cafe tersebut.
“Kok bisa pake jaket samaan di waktu yang sama gini?” ucap Arka mengawali obrolan sembari melihat jaket Fara yang sama persis dengannya.
“Tuh kan Ar, jaket kita juga sama. Terus perasaan kita kapan?” batin Fara.
“Lah iya iya?” sahut Fara menanggapinya.
Arka pun mempersilahkan Fara untuk duduk di sebuah kursi di depannya.
“Lu tiba-tiba ngajak gue ketemuan ada apa, Ar?”
“Emm gue mau ngomong sesuatu, tapi sebelum itu lu mau pesen minum atau makan dulu gak?”
“Boleh.”
“Mbak?” ucap Fara dan Arka serentak. Mereka saling bertatapan sebentar. Seorang waiters langsung menghampiri mereka untuk memberikan buku menu.
“Hot caffe latte nya satu.” Lagi dan lagi sahut mereka serentak.
“Aw, kalian yang kompak saya yang baper. Oke berarti satu tambah satu sama dengan segalanya ya?”