"Baiklah paman, bibi, aku menerima pinangan Fatkhurahman..."
Tria terhenyak, terkejut dengan jawabannya sendiri. Dan, ketika hendak meralatnya, semuanya terlambat. Karena dalam waktu bersamaan, dia mendapati kebahagian langsung menguar di wajah paman dan bibinya setelah memdengar jawabannya. Ah, sungguh dia tidak tega melenyapkan kebahgiaan itu di saat ini juga. Mungkin, esok hari, dia punya kesempatan untuk itu.
Namun, kesempatan yang diharapkan itu tak kunjung dia dapatkan. Karena paman Abdullah dan bibi Nurul langsung antusias mempersiapkan hari pertunangannya dengan Fatkhu. Begitupun dengan keluarga Fatkhu. Ibu Syahidah -ibu Fatkhu- setiap hari menelpon bibi Nurul hanya untuk membicarakan tetek bengek untuk pertunangan mereka. Jika sudah begitu, Tria hanya bisa menghela nafas panjang dan menumpahkan perasaannya pada Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta.
"Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku ini. Aku merasa begitu kotor hingga tak mampu untuk berfikir jernih. Apakah ini karena aku tidak ikhlas dengan apa yang telah Engkau takdirkan untukku? Sungguh, tidak sepatutnya aku terus-menerus mengenang kisah lalu yang tidak mungkin kembali dan seharusnya sudah aku lupakan sejak lama. Karena gara-gara kenangan itu, aku seperti wanita yang hampir gila. Gila karena sangat mencintai pria yang tidak tahu dimana rimbanya."
"Ya Rahman, sungguh aku ingin membuang cinta pada pria itu bisa menerima cinta dari yang lain. Aku ingin ada benih-benih cinta yang tumbuh di setiap kali memandang bang Fatkhu yang kini adalah calon suamiku. Alangkah durhakanya aku jika setelah pernikahan kami nanti, aku belum juga mencintainya. Dan aku... Apakah bisa bahagia dengan pernikahan yang seperti itu?"
"Ya Rahim, aku tahu jika cinta bukanlah yang terpenting dalam sebuah pernikahan karena cinta bisa menyusul belakangan. Namun setidaknya, cintaku pada pria di masa lalu itu dapat hilang dari hatiku, sehingga tidak begini menyiksa."
"Ya Allah... Ya Rahman... Ya Rahim.... Tunjukkilah aku jalan. Berikan yang terbaik untukku. Jauhkan aku dari segala tipu daya yang menyesatkan. Aku tidak mau tertipu dan terkukung dalam hal seperti ini. Aku ingin menjadi wanita yang bahagia menyambut pernikahannya, jauh dari rasa gelisah dan resah."
Tria terus mencurahkan perasaan dan kegelisahan hingga subuh menjelang.
---000---
...Sebentar lagi aku akan menjemputmu di sekolah. Kamu tidak lupa kan kalau kita akan membeli cincin pertunangan?...( Chat dari Fatkhu).
Tria memasukkan kembali handphonenya ke dalam tas tanpa lebih dulu membalas chat Fatkhu. Selain karena chat itu ada sejak ada dari satu jam lalu, toh selama ini juga begitu. Tria jarang membalas chat Fatkhu jika tidak terlalu penting. Selain itu, berdasarkan pengalaman selama ini, jika sudah punya mau maka pria itu akan melakukan apa yang dimau meski tanpa izin darinya. Pernah dia menolak Fatkhu untuk datang ke rumah, eh pria itu malah datang. Dengan tampang polos seolah tak bersalah lagi.
"Ada yang ditunggu, bu?" Tanya ibu Imelda, guru bahasa inggris, dengan sorot mata menyelidiki.
Tria tersenyum. "Oh, iya, bu..."
"Bang Fatkhu ya?"
"Iya."
"Uh, senangnya..."
Kening Tria mengerut, bingung. "Maksud ibu?"
"Siapa sih yang tidak suka memandang calon suamimu itu. Jujur ya, dia itu ganteng banget. Aku tidak nolak kalau dikasih..."