Sesosok gadis kecil berusia dua belas tahun yang berdiri di muka pintu kelas, menatap anak lelaki di dalam ruang guru yang berseberangan dengan ruang kelasnya. Anak lelaki itu berwajah manis, bertubuh tinggi, berkulit kuning, berhidung mancung, dan beralis tebal. Letak kedua ruang itu hanya dibatasi sebuah koridor selebar lima meter.
Rambut sang gadis kecil yang panjang sepunggung, lurus, dan berwarna hitam legam tampak berkilau oleh terpaan sinar matahari siang yang menelusup masuk melalui jendela kaca di bagian timur kelas. Kedua matanya yang sipit, berkaca-kaca seolah menyimpan kesedihan dari lubuk hati terdalam. Nama sang gadis kecil adalah Alien (dibaca tanpa mengindahkan huruf 'e'; Alin). Lengkapnya adalah Aliena Putri.
Alien adalah gadis keturunan cina. Papanya orang Cina asli, sedangkan mamanya berdarah Cina-Palembang. Dan kini mereka tinggal di kota Palembang, tanah kelahiran mamanya.
Alien merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara yang ketiganya adalah perempuan. Kakak pertamanya bernama Cristy yang usianya tujuh tahun lebih di atasnya dan tengah mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi di negara kelahiran sang papa, Cina. Sedangkan kakak keduanya bernama Karen, berusia lebih tua lima tahun darinya, dan sedang duduk di bangku kelas XII di sebuah SMA swasta terfavorite di kotanya. Tidak sama dengan kedua kakaknya yang taat menjalankan agama nenek moyang mereka, Alien justru lebih nyaman dengan agama yang dianut oleh anak lelaki yang tengah ditatapnya sekarang.
Anak lelaki itu bernama Muhammad Aziz Hidayatullah dan dipanggil Aziz. Ibu Aziz, ibu Titik yang merupakan orang sunda asli bekerja sebagai pembantu di keluarga sekaligus merangkap menjadi pengasuh Alien. Papa Alien adalah pemilik pabrik kerupuk ikan Palembang yang terkenal se-Sumatera Selatan dan propinsi sekitarnya. Sedangkan mamanya menjalankan bisnis klinik kecantikkan yang terkemuka di sana.
Papa dan mama Alien, setiap hari sibuk bekerja. Itu sebabnya, Alien di asuh oleh ibu Titik dan karena ibu Titik sibuk dengan pekerjaan rumah tangga yang tidak ada habisnya, Alien di titipkan pada putranya Aziz yang usianya lebih tua dua tahun dari Alien. Untungnya Aziz adalah anak penurut yang tidak banyak protes dan patuh pada sang ibu. Kakak keduanya, Karen, pun tidak tidak bisa memiliki waktu banyak untuk sang adik karena kini dia sudah di tahun terakhir sekolah menengah atas yang waktunya habis untuk bimbel, les di sekolah, ekstrakulikuler, dan belajar.
Kebersamaan Alien dan Aziz perlahan membuat Alien lebih dekat dan merasa nyaman dengan Aziz ketimbang orangtua dan kakaknya. Seperti pepatah dimana ada gula disitu ada semut, maka di mana Aziz pasti ada Alien yang menempel terus tidak ingin terpisah. Tak terkecuali ketika Aziz mengaji di masjid. Meski dilarang untuk ikut oleh Aziz, Alien tak peduli, dia tetap ikut. Dan ketika orangtua dan kakaknya pergi, Alien tidak keberatan jika harus ditinggal bersama Aziz dan ibu Titik.
Awalnya, kedua orangtua dan kakaknya tidak perduli dengan kedekatan mereka karena Aziz adalah putra ibu Titik yang memang diberi kepercayaan untuk menjaga Alien. Tapi semua itu berubah saat Karen memergoki Alien belajar mengaji di masjid ketika pulang dari bimbel, dan langsung dilaporkannya pada papanya.
Mendengar laporan itu, sang papa murka luar biasa. Alien dimarahi habis-habisan dan bu Titik langsung dipecat. Tidak hanya itu, Alien juga dilarang untuk berdekatan lagi Aziz.
Sejak itulah, mereka tidak lagi bisa bersama, merenggang karena sebuah keterpaksaan yang menyiksa. Namun, apalah daya mereka yang belum mengerti apa-apa itu. Kerinduan untuk kembali bercengkrama, bermain bersama, belajar bersama, dan bersenda gurau bersama, hanya menjadi sebuah harapan kosong. Alien tak mampu menentang titah papanya sedangkan Aziz tidak mempunyai keberanian untuk menghancurkan benteng pembatas antara mereka. Itu karena papanya Alien pernah mengancam akan memindahkan sekolah putri bungsunya tersebut apabila kepergok berbicara dengan Aziz. Ya, daripada tidak bisa bertemu sama sekali yang penting masih bisa saling memandang dari jauh.
Namun, ternyata Sang Pencipta memang sudah menakdirkan perpisahan atas mereka. Tiga bulan setelah wafatnya ibu Titik, Aziz dijemput sanak jauh ayahnya yang sudah meninggal ketika dia masih dalam kandungan. Keberadaan Aziz dalam ruang guru itupun tak lain untuk memberikan salam perpisahan kepada semua guru sebelum dia terbang ke Jakarta mengikut orang tua angkatnya tersebut.
Selepas menyalami semua guru, Aziz beranjak keluar. Namun langkahnya terhenti di muka pintu begitu bersitatap dengan Alien yang berdiri tepat di depannya. Sejenak mereka saling menatap satu sama lain dengan tatapan yang menyiratkan kesedihan mendalam.
Alien terus menatap anak lelaki di depannya. Ada kegetiran yang membuncah di dalam hatinya. Dadanyapun terasa sangat sesak. Dia belum pernah terluka sehebat ini sebelumnya. Akan kehilangan Aziz adalah petaka terbesar dalam hidupnya.
Sementara itu, Aziz hanya mampu memberikan seutas senyum pada gadis remaja di depannya. Bibirnya begitu kelu untuk berkata. Meskipun dia adalah seorang anak laki-laki, diapun bisa merasakan sedih berpisah dengan orang yang disayangi. Baru tiga bulan lalu dia kehilangan sang ibu yang begitu dicintainya, kini diapun harus berpisah dengan anak perempuan yang sudah sangat disayanginya.
"Kakak..." Kata itu meluncur lirih kemudian dari bibir ranum Tria, bersamaan dengan tetes airmata pertamanya yang jatuh. Melihat hal itu, hati Aziz bagai tercabik-cabik. Selama ini, dia tidak pernah berani untuk melukai gadis cantik di depannya, tapi kini, justru dialah penyebab gadis itu menangis.
Aziz memberanikan diri melangkah mendekati Tria, dan setelah dekat dia menjawab, "Ya, Tria..."
"Kakak akan pergi?"
Aziz mengangguk pelan.
"Meninggalkan aku?"