"Ini sangat mirip." Nina tersenyum puas memandang lukisan yang baru saja selesai, lalu mengalihkan pandangannya pada sang pelukis. Keningnya berkerut sejenak, sebelum akhirnya mengeluarkan kartu dari kantung sabuknya.
Sang pelukis ternganga. "Apa ini?"
"Aku tidak punya uang, tapi ini kartu ajaib yang tidak ada pada zamanmu. Sesuatu yang pasti sangat menarik bagimu." Nina menunjuk kartu tersebut, kemudian memberi perintah pada sistem yang terimplementasi di dalamnya. "Ubah menjadi identitas apa pun."
Kartu putih polos itu berpendar samar dan bergerak vertikal, lantas berubah menjadi kartu identitas sang pelukis. Melihat keajaiban di hadapannya, pelukis pun berdecak kagum. Merasa penasaran, dia mengambil kartu itu dari tangan Nina. Teknologi masa depan tentu saja merupakan keajaiban bagi penduduk pada masa itu; mereka menganggapnya magis. Sayang, teknologi itu tidak dapat mengenali jati diri Xavier karena merupakan manusia separuh mesin. Nina tahu hal itu, sehingga tidak ingin menyia-nyiakan usahanya untuk mengubah kartu menjadi gambar wajah Xavier.
"Uang asing ini seperti magis. Apakah ini upahku untuk lukisan itu?" tanya sang pelukis sembari menunjuk lukisan.
Nina mengangguk paham dengan bahasa isyarat yang disampaikan pelukis tersebut. "Ya."
Sang pelukis tersenyum lebar. Dia tak pernah menyangka bahwa hari ini mendapatkan benda ajaib yang tak pernah ada di seluruh penjuru Romawi. Namun, kegembiraannya itu berbeda dengan reaksi seseorang yang sedari tadi mengamati mereka. Mata pria itu tak pernah lepas dari Nina. Bibirnya melengkung membentuk senyuman, saat mengamati gerak-gerik sang penjelajah waktu.
"Terima kasih atas lukisanmu. Sekarang, aku harus mencari temanku," ucap Nina. Setelah mendapatkan lukisan itu, Nina dengan hati-hati menggulungnya, mengamankannya di bawah lengan, lalu pergi ke jalanan yang ramai.