Motor hitam dengan seorang laki-laki dan perempuan di atasnya melesat membelah jalan bak kesetanan. Perempuan yang duduk di boncengan memeluk erat pinggang cowok di hadapannya saat tikungan tepat berada di depan mata.
Malam pukul dua belas, Ibram kembali beraksi dengan mengikuti balapan dengan seorang cewek yang harus di ikut di boncengan. Jelas saja cewek itu adalah pacar Ibram, maka dari itu perempuan itu mau ikut menjemput ajal yang lebih dekat dari nadi.
Motor Ibram jauh unggul, dan lawannya ketinggalan jauh. Senyum penuh kemenangan tercetak jelas saat garis finish terlihat dekat di depan matanya. Kemudian dalam hitungan kurang dari satu detik, motor itu sudah melesat melalui garis merah.
Ibram menang, untuk ke sekian kalinya.
Tidak lama, lawannya datang dengan wajah kusut. Ibram turun dari motor, merangkul pinggang Kinan yang tersenyum penuh kemenangan. Keduanya melangkah mendekat ke arah Toni—lawan mainnya malam ini.
“Gue mau motor sama cewek lo,” ucap to the point Ibram setelah sampai di hadapan Toni.
Tanpa memperdulikan Ibram yang mungkin saja tersinggung, Toni merangkul pundak Qira—pacarnya dengan erat. “Lo bisa ambil motor gue, tapi enggak sama pacar gue,” katanya dengan sorot tajam. Qira, gadis itu menetralkan nafasnya sambil menatap ke arah Ibram.
Tersenyum miring, Ibram bertepuk tangan dengan pongah. “Ternyata dia lebih berharga dari motor lo. Gue akui lo memang hebat dalam menjaga jalang,” sungutnya penuh ledekan.
“Jaga omongan lo!”
“See? Gue berkata fakta,” ucap Ibram, “lagipula, pemenang bisa minta apa saja dari si rendahan yang kalah. Lo lupa?”
“Biar gue ingatkan, siapa yang lupa,” tandas Toni tanpa takut, “si pemenang hanya boleh meminta satu hal dari si rendahan yang kalah. Bukankah lo dengar?” Toni adalah si pembicara yang handal. Cukup dengan kata-kata biasa, mampu membuat Ibram naik darah.
“Oke, gue terima penuturan lo itu. Kalau gitu, gue pengen diri lo. Gue pengen Toni Prasetya, bukan lagi sebuah motor.”
Terkejut, jelas saja. Permintaan Ibram bukan main-main. Dan hal itu, cukup membuat Toni terdiam. Namun tak selang lama, senyum tercetak di wajah Toni. “Persyaratan pembalap liar, nggak boleh meminta satu hal. Yaitu si lawan. Ternyata lo kurang memahami dunia balap, bro.”
Ibram bertepuk tangan dengan wajah mengeras. Tanda ia marah atas perkataan yang merendahkan dirinya. Tapi untuk malam ini, Ibram masih memberi toleransi terhadap Toni yang berani membantahnya.
“Lo memang juara dalam ngomong. Gue akui,” ucap Ibram kemudian pergi. Meninggalkan Toni dan hadiah sebagai pemenang, juga Kinan yang melogo karena di tinggal pergi begitu saja.
“GAVIN!! KOK GUE DI TINGGAL, SIH?!” teriak Kinan dengan wajah cemberut.
“KITA PUTUS!”
Dua kata, cukup membuat wajah Kinan merah padam sebab malu. “SIALAN LO, GAVIN!!” sungut Kinan marah.
“GUE TUNGGU LO DI PERSIMPANGAN!!” nada datar nan mengerikan itu menusuk jantung Kinan membuatnya meringsut mundur. Jelas saja perkataannya adalah sebuah ancaman. Kinan yakin, setelah ini hidupnya akan habis.
Ibram berdecih sinis saat tidak ada lagi sahutan dari Kinan. Berani sekali cewek itu mengumpat padanya, bahkan di tempat umum seperti ini. Sudah cukup Toni membuat harga dirinya jatuh, jangan lagi cewek murahan macam Kinan yang membuat imagenya tambah merosot.