Two Different World

Zaafatm
Chapter #9

Part 8. Jurang dan Sungai

Satu kali saja, Bulan berharap Allah menjauhkannya dari orang seperti Ibram. Bulan enggan imannya runtuh sebab perilaku Ibram padanya yang terlampau semaunya. Bulan tidak ingin dirinya murka yang sama sekali tidak mencerminkan perempuan.

Berharap Ibram menjauh, adalah keinginan yang selalu di damba oleh Bulan selama ini. Terikat dengan Ibram, adalah kesalahan terbesar yang pernah Bulan lakukan.

Membalas budi, tidak harus seperti ini menurut Bulan. Ibram terlalu mengerikan untuk ukuran anak SMA yang masih duduk di bangku kelas dua. Sifatnya bak preman itu, membuat Bulan merasa tidak suka.

Bulan berharap Allah mengabulkan permintaannya. Jika Ibram tidak bisa menjauh, maka rubahlah sifat Ibram menjadi lebih baik.

“Turunkan saya, Bram ...,” pinta Bulan untuk kesekian kalinya selama perjalanan. Bulan tidak tahu Ibram akan membawanya ke mana, tapi pirasat buruk cukup membuat Bulan ketakutan.

“Nggak usah banyak bacot. Pegangan aja yang erat, kalau lo jatuh terus pingsan, tubuh lo bakal gue buang ke jurang biar di makan hewan liar,” omel Ibram sambil melajukan motornya kian cepat.

Bulan tidak lagi bersuara. Omongan Ibram jelas perkataan yang lewat begitu saja. Bulan hanya pasrah kali ini, berharap Allah setia menjaganya. Sebab Bulan tidak pandai menjaga dirinya sendiri. Buktinya, Ibram selalu memperlakukan Bulan dengan kurang ajar.

Bulan merasa menjadi perempuan hina saat ini. Seharusnya Bulan melawan, agar Ibram tidak lagi memperlakukan Bulan semaunya. Berboncengan seperti ini, membuat Bulan merasakan malu.

Malu pada dirinya sendiri sebab tidak bisa menjaga dirinya dengan baik.

“Bram, saya tidak bisa ikut kamu sembarang. Tolong turunkan saya sekarang,” pinta Bulan dengan tegas. Lama-lama berboncengan dengan Ibram, malah membuat Bulan semakin di landa ketakutan.

“Lo bisa nggak sih diam?! Lo tuh cerewet amat sih!” sentak Ibram mulai kesal.

“Turunkan—“

“Lo mau mati di sini?!” teriak Ibram muak. Bulan yang di sekolah dan Bulan yang bersamanya akan berbanding terbalik sifatnya. Bulan yang sekarang lebih berani dan Ibram muak akan sifat gadis itu.

Bibir Bulan terkatup di sertai dengan helaan nafas panjang. Dalam hati, Bulan terus mengagungkan Allah dan berdoa semoga dirinya selalu dalam lindungan-Nya. Hanya itu yang Bulan lakukan sekarang.

Akhirnya motor hitam itu berhenti, tepat di pinggir jalan yang teramat sepi. Bulan turun dengan perlahan, menatap sekelilingnya dengan jantung berdebar.

Ibram bergerak dekat dengan pembatas jalan. Di cengkeramnya dengan erat besi tersebut dengan deru nafas yang mulai tidak beraturan.

“Bodoh banget sih gue? Masih mau bertahan di dunia padahal buat mati itu gampang!” kata Ibram sambil menatap lurus-lurus pemandangan di depannya. Berbicara pada dirinya sendiri seakan Bulan tidak ada.

“AAAARKHH!!!” teriak Ibram mengeluarkan segala bebannya selama ini dengan berteriak. Suara Ibram terdengar mendengung berkali-kali. “GUE BENCI HIDUP INI!!!” teriaknya kembali.

“KAPAN GUE BISA HIDUP TENANG?!!!! GUE CAPEK!!” ungkap Ibram dengan dada yang terasa sesak. Ibram lelah akan hidupnya yang tanpa tujuan ini. Tuhan salah menciptakan dirinya. Lihat, bahkan dirinya sendiri tidak menjadi manusia berguna.

Nafas Ibram menderu kencang. Kedua tangannya yang terkepal kuat kini melonggar dengan perlahan. Ibram menoleh, sontak terkejut melihat Bulan yang gelisah dengan keringat dingin di wajahnya. Tubuh itupun bergetar.

“Eh lo napa?” panik Ibram kemudian.

Bulan sendiri, tengah di landa rasa sakit di telinga serta kepalanya. Telinganya mendenging, sedangkan kepalanya tampak memutar kaset rusak yang terus-terusan hadir di kepala Bulan saat ini.

Astagfirullah ...” Bulan beristigfar berharap ia kuat melawan rasa sakit sebab ingatan itu. Kepalanya berdenyut terlampau kuat, dan dengingan itu semakin kencang.

Jurang.

Sungai.

Dua tempat yang hadir di kepala Bulan, kini hadir di kenyataan. Dirinya sedang berdiri beberapa langkah dari pembatas jalan antara jurang dan sungai. Ingatannya kembali berputar enam bulan yang lalu.

Citt!!! Brak!!

“Allah huakbar!!”

Byurr!!

“Astagfirullah halazim ... Allah huakbar ...,” ucap Bulan terus menerus sembari mundur dengan kaki gemetar. Ingatan itu hadir bak kaset rusak di kepalanya, berputar secara berulang.

Bulan menatap sekelilingnya, Ibram tampak mengutarakan sesuatu yang bahkan hanya bisa Bulan baca dari gerakan bibirnya. Bulan seperti di landa tuli.

Bulan terus berjalan mundur, terus beristigfar dengan tubuh bergetar. Kedua tangannya menutup telinganya erat-erat, berharap denging itu berkurang bahkan hilang.

“Lan! Jangan bikin panik dong, lo!!” pekik Ibram yang tidak sama sekali dapat gubrisan dari Bulan.

Lihat selengkapnya