Two Different World

Zaafatm
Chapter #10

Part 9. Tidak ingin terikat (lagi)

Hujan datang siang ini, membuat Ibram tidak bisa ke mana-mana. Ibram tidak mempunyai mobil, maka jika ia lari dari rumah hanya dengan menggunakan motor, sama saja Ibram mencari mati.

Di luar sana, banyak musuh yang berkeliaran. Hujan adalah salah satu kelemahan Ibram, sebab motornya tidak akan bisa melaju seperti angin jika jalanan basah. Maka dari itu, berdiam di rumah walau terasa seperti neraka akan Ibram lakukan.

Di kamar, Ibram mendengar ramainya ruang tamu yang terdengar hingga lantai atas. Ibram berdecih. Bulan berada di sana, sebelum hujan datang dan mengurung mereka dalam satu istana.

Jelas saja itu permintaan ibunya untuk Bulan datang ke rumah ini. Padahal ada Ibram yang bisa mereka ajak bicara dan kenapa harus Bulan?

Semenjak Bulan hadir di keluarganya, kedua orang tuanya tampak lebih sayang kepada Bulan. Ibram muak, ia juga iri. Kedatangan Bulan yang tidak sampai satu tahun ini mengalahkan perjuangan Ibram selama sepuluh tahun.

Gadis berhijab yang sama sekali bukan tipe Ibram itu harus bertahan dalam kehidupannya yang suram. Kehadiran Bulan masih belum apa-apa di kehidupan Ibram. Laki-laki itu menganggap bahwa Bulan tak lain adalah orang suruhan yang harus menggali kehidupan Ibram.

Walau kadang-kadang Ibram merasa hadirnya Bulan itu membuatnya lebih tenang, tapi tetap saja baginya Bulan tak lain adalah orang asing yang hanya singgah sementara di hidupnya. Yahh, Ibram yakin hanya sementara.

“Den, Ibram ... di panggil Nyonya sama Tuan,” kata suara Bi Lilis di sertai ketukan dua kali.

“PERGI LO! NGGAK USAH GANGGU GUE!!” teriak Ibram muak. Ibram berpikir mungkin saja orang tuanya memanggilnya untuk memamerkan calon menantu yang ibunya dambakan. Tapi untuk Ibram, Bulan adalah satu spesies yang tidak akan pernah menjadi tipe Ibram.

Tidak terdengar suara Bi Lilis lagi setelah Ibram berteriak tadi. Tanpa sadar Ibram menghela nafas, bimbang. Ibram ingin turun, dan melihat wajah kedua orang tuanya yang selama dua bulan ini tidak Ibram tatap. Namun Ibram enggan tak di anggap nanti saat ia turun.

“Ahh! Sial!” sungutnya sembari bangkit. Tidak ada gunanya memenangkan egonya untuk bertahan di kamar, karena faktanya Ibram merindukan kedua sosok malaikat pencabut nyawa namun sangat Ibram sayangi tersebut.

“IBRAM AKHIRNYA TURUN!!” pekik wanita kala melihat Ibram turun dengan tatapan malas. Namun raut Ibram tidak membuat senyum di wajah wanita itu memudar.

“Bram, liat deh, calon mantu Mama cantik banget hari ini.”

Lihat, seperti dugaan Ibram sebelumnya. Mamanya akan pamer kelebihan Bulan di hadapannya, bukan malah memamerkan kesempurnaan Ibram ke Bulan.

“Ngapain Mama manggil saya?” tanya Ibram sambil duduk di sofa singel yang berseberangan dengan Bulan.

“Tumben manggil Mama, biasanya manggil Mbok,” kata mama Ibram—Khaira—sambil tersenyum lebar. Menatap putra satu-satunya dengan tatapan geli.

Ibram mendengkus namun hatinya terasa hangat kala melihat senyum mama yang kini hadir karena dirinya. Rasanya sangat membahagiakan, padahal hatinya terulang tersakiti. Ibram kuat melawan egonya untuk tetap bertahan walau lukanya sudah terkoyak.

“Bulan, nanti temenin Mama shopping, ya? Baju Mama udah pada buluk semua, harus ganti yang baru biar Papa nggak berpaling,” oceh wanita itu sambil merangkul pria di sampingnya yang tengah asyik pada laptopnya. Kecupan sayang mendarat di kening wanita itu membuat Ibram mengeraskan kepalan tangannya.

Ibram menatap Bulan yang tersenyum bahkan tidak terganggu dengan adegan mesra kedua orang tuanya. Cih! Gadis itu ternyata bermuka dua.

Ibram bangkit, tidak ada untungnya berdiam di sini dan hanya mendapat adegan mesra kedua orang tuanya yang memuakkan baginya. Mereka masih sama, seperti sepuluh tahun yang lalu. Ah, tidak. Tujuh belas tahun yang lalu.

“Eh mau ke mana kamu, Bram? Mama mau cerita banyak sama kamu,” cegat Khaira menghentikan langkah Ibram untuk sementara.

Lihat selengkapnya