Two Different World

Zaafatm
Chapter #12

Part 11. Kilasan Masa Lalu

Pelan-pelan, Ibram menaiki anak tangga rumahnya. Hari sudah lewat tengah malam, dan Ibram kembali untuk mengambil dompetnya yang tertinggal hari itu. Rumah teramat sepi, tentu saja, penghuni rumah pasti sedang istirahat.

Membuka pintu kamar berwarna cokelat tua dengan perlahan, Ibram menghela nafas setelahnya karena berhasil membuka pintu tanpa suara. Kakinya kini kembali melangkah.

Dahinya menyerit saat menyadari bahwa lampu tidur kamarnya menyala. Di tatapnya lekat-lekat tempat tidur yang tampak di isi seseorang. Merasa penasaran, Ibram memencet sakelar di dinding dekat pintu.

Ibram termangu. Tubuhnya terasa kaku saat menyadari bahwa sang mama yang kini berbaring dia atas ranjangnya. Tanpa ada papa di sana, bahkan wanita itu memeluk bantal guling dengan nyaman.

Ibram melangkah, bersama dengan satu bulir air mata yang jatuh dari pelupuk matanya. Ada rasa hangat dan rasa bersalah yang hadir di lubuk hati paling dalam dari Ibram saat melihat wanita yang sangat ia sayangi itu terlelap dengan tenang di kamarnya.

Ibram mendekat kemudian berjongkok di samping ranjang yang di tempati sang ibu. Melihat dari jarak dekat betapa cantiknya wanita yang sudah melahirkannya ini. Di naikkannya selimut yang merosot turun tersebut hingga di atas pundak sang ibu.

Senyum Ibram hadir bersama air mata yang berjatuhan. Untuk pertama kalinya, Ibram dapat melihat wajah ibunya dari jarak sedekat ini. Dadanya bergetar, ada rindu yang ingin segera di balaskan.

Ibram bergerak berani, mencium kening sang ibu begitu lama. Membiarkan air matanya berjatuhan dengan perasaan kian tenang. Ibram berharap waktu berhenti atau melambat, biarkan Ibram menatap lebih lama wajah ibunya dan memandang wajah cantik itu puas-puas.

“Kapan Gavin bisa melihat binar mata Mama dari jarak sedekat ini? Kapan Gavin bisa merasakan pelukan hangat Mama? Mama harus tau, bahwa Gavin sangat menginginkannya,” ungkap Ibram dengan suara tertahan. Dadanya terasa sesak, ada rindu yang mendesak ingin keluar.

“Ma ... Gavin kangen. Gavin ingin Mama tetap selamanya bersama Gavin. Memberi Gavin kasih sayang layaknya ibu pada anaknya. Gavin mengharapkannya, Ma ...,” lirih Ibram memohon. Berharap mamanya mendengar curahan hatinya yang selama ini hanya mampu ia pendam dalam diam.

“Kapan ... kapan Gavin bisa menyebut Gavin, Ibram?”

Selama ini, Ibram berharap dirinya bisa menyebut dirinya sebagai Ibram Zhaki. Bukan Gavin Angkasa. Gavin sangat ingin di panggil Ibram, nama yang mamanya cantumkan padanya.

“Luka di hati Gavin, nggak seberapa dengan rasa sayang Gavin pada, Mama. Berulang kali Gavin di sakiti, berulang kalipun Gavin menanamkan bahwa Gavin nggak papa,” lirihnya kembali mengeluarkan segala unek-uneknya. Ibram tidak bisa mengutarakan saat mamanya terjaga, namun biarkan Ibram menyurahkan semuanya saat wanita itu terlelap.

Untuk kali ini saja, biarkan waktu terhenti. Biarkan Gavin mengeluarkan segala keluh kesahnya malam ini. Dan berharap, bahwa keinginannya terpenuhi.

—o0o—

Ibram tersentak dari tidurnya saat merasakan elusan di kepalanya. Perlahan kepalanya mendongak, dan saat itu pula matanya memanas. Masih pada posisi terduduk di lantai dengan mama yang kini berada di atas ranjang, menatap hangat untuk pertama kalinya.

“Selamat pagi anak paling tampan titisan dewi Khaira,” sambut wanita itu dengan seulas senyum lebar.

Ibram tak kuat lagi menahan desakan air mata di pelupuk matanya. Kini, tangisnya kembali hadir setelah semalaman air mata itu tumpah. Tangis kali ini bukan tangis kesedihan, namun tangis bahagia. Tidak pernah Ibram sangka, bahwa paginya akan secerah ini.

“Ihh nangis. Cengeng banget anak Papa Fernanda,” cibir Khaira lagi. Tangan wanita itu bergerak mengusap pipi sang anak, menghapus jejak air mata yang terus keluar tanpa ingin di cegah oleh sang empu.

“Ini kali pertama Mama melihat kamu menangis, Bram. Nggak salah lagi, kalau kamu itu memang titisan dewa Yunani. Nangis aja tampan,” celoteh Khaira membanggakan sang putra.

“Ma ...”

“Mama tau kalau Mama ini yang terbaik. Nggak usah bilang makasih.”

Bagaimana bisa Ibram tidak kembali menangis saat mamanya terus-terusan membanggakannya. Untuk kali pertama, Ibram merasa sangat beruntung sedunia. Untuk pertama kalinya, Ibram bisa tersenyum begitu tulus setelah mendapati celotehan penuh makna dari sang mama.

Lihat selengkapnya