Ibram memandang langit-langit kamarnya yang gelap gulita. Hanya ada sinar dari bulan yang melalui celah-celah jendela kamarnya. Kedua tangan itu terlipat menjadi bantal, membiarkan pikirannya melayang.
Ibram tidak pernah menginginkan Bulan hadir di hidupnya. Bahkan Ibram tidak pernah mengharapkan Bulan menjadi tunangannya. Maka dari itu, Ibram tidak pernah ingin membuat gadis yang sudah masuk ke dalam hidupnya itu tenang. Karena dia, sudah berani masuk ke dalam dunia miliknya.
Bulan itu cantik, sangat malah. Tapi Ibram tidak pernah mencintai satu orang perempuan pun dalam hidupnya sekarang. Termasuk ibunya sendiri. Karena semenjak hari itu, rasa cinta Ibram lebur berubah menjadi dendam.
Ibram hanya mengharapkan bahwa ibunya memberinya cinta sama seperti wanita itu memberi cinta pada ayahnya. Bukan malah memberi orang lain untuk membuat Ibram merasa membaik. Ibram sudah terlalu muak dengan ucapan penuh drama ibunya yang selalu menanamkan bahwa ayahnya lebih butuh dirinya.
Jika ibunya lebih cinta pada ayahnya, lantas untuk apa Ibram hidup di dunia dan merasakan kesengsaraan? Jika pada akhirnya kasih sayang sang ibu tak mampu terbagi untuknya.
“Sialan! Berhenti mikiran orang-orang bermuka dua, Gavin!!” pekik Ibram sambil menarik rambutnya dengan kasar. Berharap lamunan yang tidak Ibram harapkan itu lenyap dalam pikirannya.
Bagi Ibram, menjadi manusia paling jahat di dunia lebih baik dari pada menjadi manusia bermuka dua. Untuk apa bersikap baik di depan tapi menyimpan keburukan di belakang. Ibram membenci orang munafik. Dan Ibram benci dirinya sendiri.
“Kenapa gue nggak bunuh diri aja? Nggak usah repot-repot mikir sebegini susahnya!” gerutu Ibram sambil mengubah posisinya menjadi duduk.
“Kalau gue mati, ada yang melayat nggak, ya? Secara gue manusia paling jahat di bumi. Mana ada yang bela sungkawa atas kematian gue. Yang ada, mereka malah tertawa saat gue mati. Sialan emang tuh orang munafik, kerjaannya drama mulu,” celoteh Ibram panjang. Berbicara sendiri, itu kegiatan setiap malam yang di lakukan olehnya.
Bagi Ibram, bercurhat pada dirinya sendiri jauh lebih nyaman dari pada bercurhat pada orang lain. Lagipula, selama ini Ibram tidak pernah berbicara tentang unek-uneknya pada siapapun, karena faktanya mereka menang tidak ada untuk Ibram.
Padahal jika Ibram tahu, Allah adalah sebaik-baiknya tempat untuk mengadu, mengeluh, dan berkeluh kesah. Tapi sayangnya, Ibram adalah satu dari banyaknya manusia yang mengikuti jalannya setan.
Ibram menatap bulan purnama yang tampak dari jendela kaca bergorden bening. Tampak sekali bulan sedang senang malam ini. Cahayanya amat terang, yang malah membuat Ibram teringat akan gadis bernama Bulan.
Ibram suka melihat Bulan menangis dan ketakutan. Tapi Ibram tidak suka jika Bulan membantahnya. Ibram ingin Bulan menjadi gadis penurut, seperti anjing pada majikannya.
“Kenapa saat gue pengen dia, kayak ada yang nahan gitu, ya?” tanya Ibram pada dirinya sendiri. Keningnya berpautan erat, tanda ia sangat heran atas dirinya sendiri.
“Apa dia pakai baju panjang kali ya? Tapi masa sih karena itu? Waktu gue meluk dia, gue nggak merasa tergoda, tuh,” celotehnya kian merasa heran.
Memang benar, saat berdekatan dengan Bulan, ia tidak merasa tergoda. Hanya perkataan Ibram saja yang niatnya untuk menggertak Bulan. Bahkan saat di belakang sekolah waktu itu, Ibram tidak terlalu tergoda pada Bulan seperti gadis-gadis yang pernah berhubungan dengan Ibram.
Aneh. Ibram merasakan ada sesuatu yang menjaga Bulan.
“Apa, ya? Kalau gue santet online, manjur nggak, ya? Bakal kelar nggak sih penjaganya?” Ibram akan menjadi laki-laki cerewet saat dirinya bercerita pada dirinya sendiri. Ucapan bodoh, yang tidak pernah ia tunjukan di luar kini tampak saat ia sendirian.
“Pengen ke rumah Bulan, ahh. Kangen, hihi ...” Tawa kecil yang tampak lucu, kini hadir di wajah Ibram. Laki-laki itu beranjak untuk mengambil jaket dan kunci motornya.
Waktu bisa di katakan dini hari. Sebab jarum jam sudah mengarah ke angka dua lewat. Dan, Ibram masih saja membuat ulah dengan terus-terusan ingin membuat Bulan sengsara. Ibram tidak tahu ada apa dengan dirinya yang selalu suka saat melihat Bulan sengsara.
Ibram mematikan mesin motornya, kepalanya mendongak ke lantai atas kamar Bulan yang sempat ia masuki dengan kurang ajar. Ibram tersenyum miring melihat lampu kamar itu mati. Jelas saja, si penghuni sudah mengungsi ke kamar kakak laki-lakinya.
Bagi Ibram, Bulan adalah gadis polos yang sok-sok kan bersikap dewasa. Bulan itu bodoh, dia selalu menanggapi sesuatu dengan sangat terkejut seakan itu tidak pernah terbesit di kepalanya. Padahal faktanya, Bulan adalah siswi paling pintar di sekolah.
Ntahlah, kadang Bulan menyimpan kemisteriusan yang tidak bisa Ibram tebak dengan mudah.