Two Different World

Zaafatm
Chapter #13

Part 12. Semakin menggila

Jika kemarin-kemarin Bulan akan teramat susah menahan kesal sebab Ibram, sekarang tidak lagi. Bulan sudah menanamkan bahwa hadirnya Ibram sebagai 'biang rusuh' tersebut adalah kiriman Allah untuk menguatkan iman Bulan.

Seperti yang di katakan bunda, Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan umatnya. Dan Bulan mengakuinya, jika dirinya ikhlas, maka cobaan itu terasa seperti sebuah batu di dalam bangunan. Mengokohkan.

Mungkin kemarin Bulan sempat terkejut atas kedatangan Ibram setelah seminggu menghilang. Tapi untuk hari ini, Bulan sudah mulai terbiasa walau merasa sangat tidak nyaman.

“Bram, jangan ganggu saya,” tegur Bulan kesekian kalinya. Di koridor, Bulan berjalan bersama dengan tumpukan buku tulis yang ia bawa dari ruang guru. Koridor yang sepi, kini malah berubah ramai karena peringatan Bulan serta celotehan unfaedah Ibram

“Gue nggak ganggu. Gue cuman mau nolong, kok,” kilah Ibram berbanding terbalik dengan perbuatannya. Tangannya yang satu terus menarik-narik ujung hijab yang di kenakan Bulan.

“Saya bisa sendiri. Makasih atas tawarannya,” ucap Bulan sembari mempercepat langkahnya. Kadang Bulan merasa heran, cowok itu tidak pernah masuk ke kelas, tapi bagaimana bisa dia bisa masuk ke anggota perwakilan kompetisi cerdas cermat.

“Gue maksa, Lan. Buruan kasih bukunya ke gue,” kukuh Ibram masih enggan melepas tangan yang terkait ke ujung jilbab gadis itu. Ibram terkikik sendiri melihat Bulan berusaha menahan kesal.

“Ibram ... saya harus masuk kelas. Tolong jangan ikuti atau bahkan ganggu saya!” tegas Bulan tak ingin terbantahkan. Gadis itu menghela nafas sebelum akhirnya masuk ke dalam kelas. XI IPS-1.

Assalamualaikum ...,” salam Bulan sembari menuju meja guru. Kelas masih kosong, namun siswa-siswinya tampak sangat tenang.

Hai gais!” sapa suara laki-laki yang di iringi dengan lambaikan tangan.

Bulan melotot sontak menoleh. “Astagfirullah, Gavin ...” Bulan tahu batasan untuk memanggil nama lelaki itu.

“Hai tunangan,” sapa Ibram kembali. Matanya berkedip-kedip ke arah Bulan yang masih berdiri di depan kelas.

Bulan berkali-kali beristigfar dalam hati atas tingkah absurd dari Ibram. Sudah Bulan katakan jangan mengikutinya, dan Ibram masih keras kepala mempertahankan. Kelakuan Ibram semakin hari semakin menggila, dan Bulan tidak tahu kesabarannya sampai di mana.

“Keluar, Vin. Kamu seharusnya ada di kelas kamu sendiri.”

Ibram tidak menanggapi, laki-laki itu bahkan duduk di kursi guru dengan santainya. Matanya menatap wajah siswa-siswi IPS-1 yang tampak tak percaya atas kelakuannya. Lalu tatapannya berhenti di Arum, gadis itu menatapnya tajam.

“Duduk gih, Lan. Gue yang gantikan Bu Sindy hari ini,” katanya dengan enteng.

Mati-matian Bulan menahan kesalnya agar tidak meledak di depan teman-temannya. Gadis itu akhirnya berjalan untuk duduk di kursinya sendiri.

“Baik anak-anak yang nggak gue harapin, saatnya kita memulai pelajaran,” kata Ibram sembari berdiri dengan percaya diri. Matanya menatap satu per satu penghuni kelas IPS ini dengan saksama. “Karena Bu Sindy sedang sibuk mengurus ujian buat kelas dua belas, gue sebagai guru pengganti akan menyiksa kalian semua,” lanjutnya sambil tersenyum miring.

“Gavin, gue sebagai ketua kelas nggak ngeizinin lo bertingkah semaunya di kelas gue,” sarkas sang ketua kelas. Namanya Rafa, cowok dengan wajah tak kalah sangar dari Ibram.

“Diem! Lo mau gue hukum?”

“GAVIN!! KAMU BACOT MULU!!” teriak Arum sembari berdiri. Si cewek berhijab namun tampak sangat bringas itu menatap Ibram yang tampak terkejut karena suara Arum.

“Rum ... sabar, jangan terbawa emosi,” tahan Bulan sembari memegang tangan Arum di atas meja. Tidak ingin membuat gadis itu meledak.

Ibram tidak menanggapi, cowok itu berjalan ke arah meja dan mengambil buku bersampul biru. Ibram kembali menatap sekelilingnya, kemudian terkekeh saat menyadari penghuni kelas ini semakin muak padanya. “Karena gue baik, gue cuman ngasih soal, nih,” ucap Ibram sambil mengambil spidol.

Tulisan ala Ibram yang sama sekali tak layak di lihat, kini hadir di papan tulis. Pelan-pelan, Ibram menulis angka-angka yang semakin lama semakin panjang. Merasa cukup, pemuda itu berbalik dan langsung menunjuk Bulan.

“Lo, cewek yang paling cantik, maju,” titah Ibram.

Bulan mengerjap, matanya menatap Ibram lurus-lurus. Bibirnya terkatup rapat, ada rasa enggan untuk menuruti perintah dari laki-laki itu.

Lihat selengkapnya