Malam hadir di temani dengan bulan dan bintang. Di langit, seberkas cahaya hadir dari percikan bulan serta bintang yang berkesinambungan. Deru angin malam menerbangkan tiap-tiap dedaunan kering seperti sebuah kenangan yang mulai benua.
Arum. Gadis yang hebat dalam bela diri, wajah yang cantik dan sedikit jutek. Namun semua hal tersebut, tertutup oleh hijab yang mulai gadis itu kenakan dalam satu tahun ini. Untuk orang yang pertama kali melihat Arum, maka mereka akan beranggapan bahwa Arum adalah gadis lemah lembut. Namun itu salah besar, karena Arum adalah gadis sangar yang tak terbantahkan.
Sedari siang tadi, Arum mati-matian menahan kesal. Perihal tentang Bulan, dan laki-laki yang bernama Ibram. Fakta itu, terlalu mengejutkan bagi Arum, terlebih apa yang terjadi akhir-akhir ini.
Arum berusaha dengan keras memikirkan siapa pengirim karangan bunga setiap pagi. Namun sejauh apa dirinya menebak, semua itu akan sia-sia. Karena pikirannya tetap mengarah pada Gavin, laki-laki yang di panggil Ibram oleh Bulan. Pemuda yang sudah menjadi tunangan sahabatnya sendiri.
Arum bukannya cemburu, tidak sama sekali. Tapi Arum marah, marah pada Gavin. Bagaimana bisa cowok itu mengencani Bulan sedangkan setiap pagi Arum mendapatkan kiriman bunga mawar. Arum bukan marah karena Gavin mempermainkannya, tapi marah karena cowok itu mempermainkan Bulan.
Cerita tentang enam bulan lalu, masih terus di ceritakan oleh Bulan padanya. Perihal tentang Bulan yang mendapatkan fobia gelap dan takut akan sungai. Kemudian tentang sepasang suami istri, dan tentang sosok yang menjadi tunangan gadis itu. Semua hal itu, masih Bulan ceritakan padanya sampai akhirnya terkoreklah sebuah fakta.
Arum tidak menyangka bahwa Gavin adalah sosok yang selalu di ceritakan oleh Bulan. Di cerita Bulan, Gavin adalah sosok yang cuek, tidak banyak bicara, dan tidak suka bergaul. Namanya pun Ibram. Walau Arum tahu bahwa Gavin punya nama yang sama, tapi asumsinya pupus karena cerita dari Bulan.
Arum tidak tahu kenapa Bulan menutupi hubungan mereka dari dirinya. Terlebih, Bulan selalu berkata yang berbanding terbalik dengan fakta tentang Gavin a.k.a Ibram.
“Gavin Angkasa adalah Ibram Zhaki Fernanda. Dia orang yang sama, Rum ...,” bisik Arum pada dirinya sendiri. Matanya memandang lurus-lurus langit cerah malah ini dari jendela kamarnya. Gavin atau Ibram, mereka adalah sama. Sifat mereka sama, walau di cerita Bulan, Ibram adalah sosok yang tampak baik.
“Kamu bukan Arum yang dulu, kamu adalah Arum Angreini. Gadis yang nggak lagi memerlukan seseorang dalam hidupmu,” gumamnya lagi kian menerawang. Arum tidak lagi memerlukan laki-laki, karena Allah sudah memberi cinta padanya melebihi cinta manusia biasa.
Dulu, Arum adalah gadis yang lemah. Ya, lemah. Maka dari itu Arum mengharapkan seorang pelindung untuknya. Gavin datang, sebagai cowok yang Arum yakini bisa melindunginya dari kejahatan dunia. Bertemu dengan Gavin waktu itu, adalah kenangan indah yang hendak Arum lupakan.
“Gu-gue mohon ... lepasin gue ...” Dia Arum, gadis lemah yang mengharapkan seorang pelindung untuknya.
“Halah! Lo cewek murahan! Lo mangsa idaman, dan ngelepasin lo gitu aja? Cih! Itu nggak mungkin,” balas seorang laki-laki. Dia adalah Zero, anak kelas sembilan yang tidak pernah menyukai Arum.
Arum terisak dengan tangis yang tertahan. Kedua lututnya terluka akibat tendangan Zero pada betisnya, yang mengakibatnya tubuhnya terjatuh berlutut dan menghempas batu-batu kerikil di bawahnya.
“Gue minta maaf,” ucap Arum dengan tangis yang kian mengencang. Arum tidak pernah berpikir bahwa Zero akan melakukan hal ini padanya. Mencegat pulangnya dan menyeret Arum ke gang kecil. Mengurung Arum di gudang kecil hingga malam datang.
Arum tak pernah salah, karena faktanya Zero yang iri padanya hingga membuat laki-laki itu dengki. Dan Arum yang menjadi amukan Zero malam ini karena kemarahan diri laki-laki itu sendiri.