Dunia itu adalah sebuah kepalsuan belaka. Di dalamnya menang tampak sangat indah, berbagai kenikmatan ada di dunia. Untuk namun orang yang jauh dari Allah, dunia adalah surga mereka, di mana mereka bisa bersenang-senang sepuasnya. Tapi bagi orang yang beriman, dunia adalah tempat paling menipu.
Dunia penuh akan kekejaman. Dunia itu menyesatkan. Iblis terus berkeliaran menggoda umat manusia untuk mengikuti jalannya yang sesat. Karena iblis tidak pernah ingin masuk ke dalam neraka sendirian.
Tidak ada yang bisa menjamin bahwa diri mereka tidak tergoda akan bisikan setan. Semakin besar iman seseorang, maka besar pula usaha iblis untuk menyesatkan. Beruntung bagi orang-orang yang bisa mempertahankan keimanannya.
Tapi untuk Ibram, iman tidak terlalu di pedulikan olehnya. Ibram menyukai hidup yang bebas, karena dia di tuntut untuk hidup sendiri. Ibram tidak suka di kekang, karena faktanya Ibram hidup karena di lepaskan. Ibram tidak peduli nanti, karena kebahagiaannya saat ini.
Bersama dengan orang yang di sayang adalah impian Ibram. Namun impian itu harus patah saat dirinya masih kecil. Kemudian kembali lagi saat usianya tujuh belas tahun. Ibram beranggapan bahwa Tuhan mempermainkannya.
Seperti saat ini, ibunya pergi, bersama dengan ayahnya. Walau mamanya tidak pergi jauh seperti waktu itu, tapi tetap saja Ibram berpikir bahwa mamanya akan tetap jauh setelah ini. Ibram benci janji, karena itu hanyalah bualan semata yang keluar dari mulut sebagai fakta, namun tak kunjung di tebus untuk menjadi nyata.
Mamanya berjanji tidak akan pernah membuatnya kembali merasakan hal yang sulit. Namun hal itu kembali, Ibram kembali merasakan sakit. Ibram ingin egois, sekali saja. Ibram ingin memiliki ibunya, selamanya. Tanpa ada ayah yang selalu merenggutnya.
Hidup penuh dendam, hanya akan menyulitkan. Ibram tidak menyukai ayahnya, karena pria itulah yang dahulu membencinya. Merebutkan satu wanita, yang punya kewajiban ganda. Tapi malah enggan, untuk di miliki keduanya.
Bisakah Ibram merasakan hangat keluarga setelah sekian lama? Dengan adanya ayah, karena Ibram ingin keluarga yang lengkap. Ibram berharap, sangat berharap papanya bisa menerimanya sebagai anak yang harus di beri kasih sayang selayaknya diri sendiri.
Ibu Ibram hanya pergi ke kantor bersama sang ayah. Ibram cemburu, karena ayahnya selalu merebut ibunya darinya. Fernanda sangat mencintai Khaira, Ibram sangat paham akan hal itu. Namun, yang tak masuk di akal adalah, pria itu tidak ingin cinta sang wanita terbagi untuknya, untuk Ibram.
Fernanda adalah pria yang obsesi, juga egois.
Kadang, Ibram benci nama belakangnya. Tapi kadang, Ibram bersyukur karena punya nama belakang yang terhormat.
“Kapan Mama pulang?” tanya Ibram pada angin. Duduk di teras rumah, Ibram menunggu kepulangan sang mama dari jam delapan pagi. Bahkan dirinya tidak berangkat ke sekolah, hanya demi menyambut ibunya saat pulang.
Sekarang pukul dua siang, dan Ibram masih enggan beranjak dari duduknya sedari tadi. Pikirannya melayang, memikirkan hal indah yang mungkin saja akan menjadi nyata suatu saat nanti. Khayalan yang hanya terbuat dari pikiran yang kosong, kini menjadi doa Ibram untuk menjadi nyata.
Ahh, ternyata Ibram tahu cara berdoa.
Drtt drtt ... Bunyi handphone milik Ibram bergetar panjang. Panggilan masuk dengan nama Vio, cewek yang sekarang menjadi pacarnya, selamanya. Ibram bergerak malas, menggeser ke tombol hijau dan terdengar suara bising dari sebarang telepon.
“Gue butuh lo sekarang. Ada yang nggak beres, datang ke ujung jalan dekat danau, gue perlu lo saat ini.” Suara Viona terdengar dari seberang telepon. Suaranya tampak panik, juga terlalu terburu-buru.
“Kenapa?” tanya Ibram singkat. Berpacaran sudah hampir dua minggu bersama Viona, membuat Ibram merasakan bosan. Gadis dengan mata abu-abu yang terang, tidak ada apa-apanya bagi Ibram. Gadis itu sudah tidak lagi memesona. Jika bukan karena janji, Ibram tidak akan mau berpacaran dengan Viona, dalam artian selamanya.
“Gue mau lo datang sek—arkh!!”
Ibram sontak berdiri saat mendengar suara teriakkan Viona dan suara gaduh di sebarang sana. Spontan Ibram menjadi panik sendiri, lantas berlari dan mengambil kunci motor. “Jangan kemana-mana, tunggu gue di sana,” titah Ibram sambil mematikan ponselnya.
Meninggalkan rumah begitu saja, sampai lupa bahwa sedari tadi Ibram menunggu kedatangan sang mama yang tak kunjung datang. Tapi karena panggilan Viona, Ibram jadi panik sendiri takut cewek tomboy itu kenapa-napa.