Two Different World

Zaafatm
Chapter #16

Part 15. Insiden di jalan

Siang ini hujan, tepat saat Bulan baru saja memasuki taksi yang ia pesan. Gadis itu menatap rintik-rintik hujan yang tidak terlalu deras dari dalam mobil. Airnya mengenai jendela kaca, membuat bercak buram dan ramai.

Bulan tidak trauma terhadap hujan, karena hujan adalah rahmat dari Allah. Maka dari itu sampai sekarang Bulan masih menyukai hujan, walau insiden waktu itu cukup membuatnya trauma luar biasa.

Semakin jauh mobil yang di tumpangi Bulan melaju, semakin deras pula hujan mengguyur. Tidak ada petir, hanya ada gelap. Angin pun tampak deras, terlihat bahwa rintik hujan bergerak ke arah barat.

Jalanan sepi ternyata, pantas saja taksi yang di tumpanginya sudah menempuh setengah perjalanan. Tidak ada sunyi, karena di telinga Bulan terselip earphone yang melantunkan ayat-ayah Al-Quran.

Matanya fokus pada jalan luar, menatap penuh rasa syukur atas datangnya hujan di saat panas melanda beberapa jam yang lalu. Allah maha pemurah, Allah maha pemberi dan Allah selalu mengerti kehendak dari umatnya. Rugi bagi orang yang tidak pernah bersyukur atas nikmat yang selalu Allah berikan.

Di tengah pikiran Bulan yang sedang melayang, matanya tak sengaja melihat sebuah motor hitam yang tengah berjalan dengan sempoyongan. Seperti hendak oleng. Sontak saja Bulan memekik saat melihat motor itu terjatuh menghempas aspal.

Astagfirullah! Pak berhenti, Pak!” ucap Bulan panik sendiri. Gadis itu keluar dengan payung putih yang di berikan oleh bapak sopir. Dengan cekatan Bulan mendekat ke arah seseorang yang sedang meringis tersebut.

“Permisi, Kak ... kakak nggak papa?” tanya Bulan sambil mendekat.

“Arkh! Sial banget gue!” umpat suara si laki-laki yang terjatuh tadi.

Bulan tertegun, itu suara yang Bulan kenal. “Ibram?” panggil Bulan memastikan. Suaranya tercekat saat melihat kondisi dari pemuda ini.

Sontak laki-laki itu menoleh. Matanya melotot sebentar, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya. “Ngapain lo di sini?” tanya Ibram.

“Saya, sedang lewat,” sahut Bulan pelan. Ternyata benar dugaannya, bahwa laki-laki itu adalah Ibram. Bulan meringis sendiri karena melihat betapa kacaunya Ibram saat ini. Wajahnya terlampau bonyok, banyak darah di setiap tubuhnya. “Kamu bisa ikut saya pulang, Bram. Dengan kondisi seperti ini, nggak mungkin kamu bisa mengendarai motor,” tutur Bulan setelahnya.

Ibram bangkit, kedua kakinya lecet. Cowok itu meringis dengan perasaan kesal. “Mana mobil, lo?” tanya Ibram sambil menatap mata Bulan.

Bulan menoleh ke arah belakang, di mana taksi yang ia tumpangi masih di sana. “Motor kamu bisa di tinggal di pinggir jalan aja dulu,” kata Bulan.

Ibram menatap motornya yang rusak, kemudian berdecak. “Buang aja, udah rusak juga!” ucapnya sambil berjalan mendekat ke arah Bulan. Sontak gadis itu memundurkan langkahnya. Ibram menyerit, dengan mata berkedip dua kali. “Nggak usah sok suci!” sungut Ibram jengah.

“Biar saya minta bantuan Pak sopir dulu. Ayo ikut saya,” alih Bulan sambil berjalan dahulu. Meninggalkan Ibram yang sedari tadi terguyur oleh hujan.

Setelah Bulan meminta pertolongan Pak sopir, motor Ibram akhirnya di pindahkan di pinggir jalan. Bulan masih menunggu di luar, dengan Ibram yang sudah duduk manis di jok depan.

“Makasih banyak ya, Pak,” ucap Bulan tulus. Merasa tidak nyaman karena sudah membuat pria paru baya tersebut basah kuyup.

“Nggak papa, Neng,” balas Pak sopir sambil tersenyum.

Akhirnya mobil tersebut kembali melaju. Di dalam mobil hanya ada suara ringisan dari Ibram yang selalu terselip kata-kata kasar. Di belakang, Bulan hanya mampu beristigfar terus menerus akibat kelakuan Ibram.

“Di rumah kamu ada banyak orang kan, Bram?” tanya Bulan memecah keheningan. Memastikan bahwa di rumah laki-laki itu sedang ada orang, Bulan enggan berduaan bersama Ibram dalam satu rumah. Walau keadaannya sangat genting.

“Gue nggak mau ke rumah sekarang. Gue maunya rumah lo,” balas Ibram. Mengingat bahwa dirinya sedang patah hati karena di tinggal oleh mama ke kantor, terlebih saat ini Ibram tengah bonyok, dan motornya rusak. Ibram tidak siap di omel oleh mama dan di tatap marah oleh papa. Membayangkannya saja sudah membuat Ibram bergidik ngeri.

Lihat selengkapnya