Sedari tadi, yang Ibram tatap hanyalah gelap tanpa bulan di luar sana. Dengan jendela kaca sebagai pemisah antaranya luar dan dalam, membuat deruan angin kencang di luar sana tak bisa menyapa tubuhnya. Ibram suka gelap, karena baginya itu lebih baik dari pada terang tapi menyakitkan.
Tidak ada bulan, ataupun bintang. Hanya ada cahaya remang-remang dari pencahayaan lampu dari luar yang menyelinap masuk tanpa permisi di tempat keberadaan Ibram saat ini.
Mata dengan netra hitam itu hanya berkedip-kedip, nafas yang teratur, tapi pikiran yang melayang jauh. Tentang mama, tentang Viona, dan tentang mimpi beberapa minggu yang lalu. Jika di lihat, sepertinya pikiran Ibram tengah banyak kali ini.
Dari mama. Wanita itu tidak ada mengirim pesan atau meneleponnya. Harapan Ibram kembali patah, padahal sudah ia tanamkan bahwa ibunya sudah kembali setelah lama menghilang. Ibram kira, di saat umurnya ke tujuh belas tahun, mamanya akan kembali seperti saat umurnya tujuh tahun.
Menjadi egois itu terlalu susah untuk Ibram. Memberontak saja rasanya tidak cukup, toh tidak juga di gubris. Wanita itu hanya sesaat merasa sayang padanya, karena faktanya cinta Khaira itu hanya untuk Fernanda. Hanya satu laki-laki.
Tanpa Ibram. Ya ... tanpa putranya sendiri.
Sudahlah ... dicampakkan sudah menjadi makanan Ibram. Sudah terbiasa, walau kadang dirinya merasakan sakit sesekali. Ibram kuat, hanya untuk sesaat.
Lalu tentang Viona. Gadis bermata abu-abu dengan tatapan tajam itu mampu membuat Ibram sedikit terusik. Walau hal ini pernah terjadi juga pada Bulan, tapi tetap saja perasaan ini berbeda.
Ibram tidak pernah peduli akan perempuan manapun saat mereka terluka. Ahh, tidak ... Ibram pernah melakukannya sekali, dan dua kali untuk hari ini. Rasa ini hampir sama seperti rasa beberapa tahun lalu. Hanya saja, kata semu pas untuk menggambarkan perasaan Ibram saat ini.
Menolong, rela terluka, dan membalas dendam. Hal ini seperti dejà vu. Tapi Ibram berharap, dirinya tidak lagi terjatuh pada pesona perempuan manapun. Siapa pun itu.
Dan terakhir tentang mimpi. Sudah lewat beberapa pekan setelah mimpi itu datang, Ibram tidak pernah lagi memikirkannya. Namun detik ini, di sela-sela pikiran yang tengah kacau, terselip tentang mimpi mengerikan tersebut.
Aneh, kenapa harus sekarang ingatan itu muncul? Ibram tidak bisa mengerti, tapi Ibram pun tidak peduli. Walau saat itu, mimpi tersebut benar-benar membuat Ibram takut dan heran dalam waktu yang bersamaan. Sebab, mimpi itu tiba-tiba datang, seperti sebuah peringatan.
Ibram menghela nafas, di urutnya dengan perlahan pelipisnya yang terasa berdenyut tersebut. Pikirannya kali ini, cukup membuatnya sakit kepala.
Sudah pukul sebelas malam, dan Ibram tidak sama sekali menyentuh makanan. Hanya minum, itu pun siang tadi. Mata Ibram bergerak memandang kamar yang ia tempati saat ini. Semuanya putih, tampak sangat bersih.
Puas dengan pikirannya beberapa jam ini, Ibram beranjak. Lelah, dirinya perlu istirahat. Pikirannya pun harus rehat, jika tidak mau otaknya akan konslet. Alamat hancur reputasi seorang Gavin jika sampai punya gangguan jiwa akibat stres.
Saat bangkit, Ibram menatap bajunya sendiri. Kaos oblong berwarna putih dengan celana sebatas lutut. Pakaiannya tampak jauh berbeda jika di rumahnya sendiri. Pakaian ini adalah milik Adam, yang untung saja pas pada tubuhnya.
Tidak ingin kembali larut dalam pikirannya, Ibram akhirnya berbaring. Melemaskan otot-otot yang terasa repok hari ini. Pukulan besi bahkan balok, cukup membuat tubuh Ibram sakit luar biasa. Anehnya, Ibram malah tidak memikirkan nasibnya dan memilih menyelamatkan Viona siang tadi, sampai tidak ngeh bahwa nyawanya di ujung tanduk.
Dendam itu semengerikan ini ternyata.
Kini, pikiran tentang Viona, mama, juga hal lainnya sudah di hapus di pikiran Ibram untuk sekarang. Biarkan dirinya rehat, sampai merasa bahwa cukup untuknya kembali bangkit dan berteriak pada dunia bahwa insiden hari ini bukan apa-apa untuknya.
Deruan angin yang menerbangkan dedaunan kini sudah terdengar jauh di telinga Ibram. Pikiran yang tadinya penuh, kini berangsur menyurut. Rasa tenang, hadir saat lelap datang.
—o0o—
Di sisi lain saat malam datang pada Bulan, yang ia lalukan hanyalah membaca Novel islami yang di belikan ayah pekan lalu. Kantuk belum menjemput, maka dari itu mata Bulan tetap terjaga. Sambil membaca buku, agar waktunya bermanfaat, juga agar kantuk datang.
Ekspresi wajah Bulan tak henti-hentinya berubah. Kadang tertawa, sedih, kesal, juga tertegun. Novel dengan genre islami ini membuat Bulan jatuh dalam pesona cerita bak nyata ini. Bulan jadi iri, bagaimana caranya menjadi penulis hebat dan membuat pembacanya senang.