“Lan, lo mau makan apa? Biar gue beliin sekalian,” tawar Ibram yang tahu-tahu sudah duduk di atas meja Bulan.
Bulan menghela nafas. Baru saja mendudukkan dirinya di kursi, Ibram sudah membuat ulah. Bahkan, dengan gampangnya laki-laki itu hendak ke kantin, padahal mereka akan memulai kelas untuk lomba beberapa minggu lagi.
“Enggak, Vin. Saya sudah kenyang,” tolak Bulan sambil membuka bukunya. Matanya menatap serius tiap kata serta angka di dalamnya tanpa memedulikan keberadaan Ibram. “Astagfirullah!” pekik Bulan saat Ibram tiba-tiba menutup bukunya dengan kasar, membuatnya terkejut.
Ibram mendekatkan wajahnya, membuat Bulan merunduk. Cowok itu tersenyum miring, ternyata menjahili Bulan masih mengasyikkan ini ternyata. “Gue udah punya pacar. Dan lo? Ah iya, lo kan juga pacar gue. Jadi, gue punya dua perempuan dong, bisa gantian,” ucap Ibram ambigu.
“Menjauhlah.”
“Kenapa? Lo takut khilaf?” tanya Ibram penuh ledekan. Cowok itu kian memajukan wajahnya, semakin gencar membuat Bulan ketakutan. Sudah lama rasanya Ibram tidak membuat Bulan seperti ini.
“Ekhem!!”
Sontak Ibram dan Bulan menoleh. Bulan bernafas lega, sedangkan Ibram berdecak merasa terganggu. Iqbal di sana, menatap datar ke arah mereka dengan satu tangan memegang buku, dan satunya lagi di dalam saku.
Iqbal berjalan begitu saja, melewati mereka dan duduk di kursi samping meja Bulan. Iqbal menoleh ke arah Bulan yang fokus pada buku, kemudian beralih menatap ke arah Gavin yang kini menatapnya juga.
“Assalamualaikum anak-anak. Maaf Bapak terlambat, kalau gitu kita mulai sekarang saja,” ucap suara Pak Guna di iringi suara buku yang mengentak permukaan meja.
Ibram kembali berdecak, segera ia turun, dan duduk di kursi samping Bulan. Dengan enggan, laki-laki itu membuka buku yang di perintahkan oleh Pak Guna. Kelas ini, terasa sangat membosankan bagi Ibram.
“Jika bukan karena Mama, gue nggak bakal mau ikut beginian,” omel Ibram.
—o0o—
Sudah lima belas menit berlalu setelah Arum menginjakkan kakinya ke taman samping gedung olahraga. Bersama dengan sosok laki-laki yang memergokinya menangis di dalam gedung.
Di tangan Arum, satu botol air mineral ia genggam erat, tatapannya tertuju lurus pada rerumputan rapi di depannya. Tidak ada niatan untuk memecah hening selama lima belas menit ini.
Terdengar tarikan nafas dari samping Arum, namun tak kunjung jua ada suara yang melanjutkan. Mereka seakan bekerja sama untuk menutup rapat kedua bibir mereka.
“Gue pergi dulu, bentar lagi masuk,” ucap laki-laki itu yang akhirnya memecah keheningan.
“Sebanyak apa yang kamu ketahui tentang aku?” tanya Arum tanpa menoleh, tapi dapat ia lihat laki-laki itu menghentikan langkahnya.
“Entahlah, gue pun nggak tau sebanyak apa itu,” balasnya dengan enteng.
Kali ini, Arum mendongak, menatap wajah tampan ciptaan Allah ini dengan tajam. “Sejak kapan kamu membuntutiku?” cercanya.
Laki-laki itu tersenyum kecil, kakinya bergerak tiga langkah, mengikis jarak antara dirinya dan juga perempuan ini. “Sejak kapan? Entahlah, mungkin sudah lama,” sahutnya kian tenang.
Arum berdiri, menatap kesal ke arah cowok yang ia cap sebagai penguntit ini. “Apa yang kamu inginkan? Jangan pernah ganggu aku, karena kita nggak saling kenal. Kita nggak punya hubungan apa-apa, jadi berhenti membuat ulah!” sarkasnya.
Datangnya laki-laki ini saat di gedung tadi, cukup membuat Arum percaya bahwa ini bukan kebetulan. Arum tidak mengenal cowok ini, mereka tidak pernah berpapasan, lantas dari mana dia tahu nama Arum? Dia menyebut namanya seakan mereka begitu kenal.
“Ternyata lo punya ingatan yang buruk. Gue maklumin, karena kita memang nggak pernah ketemu lagi setelah itu.” Cowok itu menatap wajah Arum dalam tidak peduli bahwa sorot tajam gadis itu mampu menusuk netranya.