Two Different World

Zaafatm
Chapter #19

Part 18. Menewarang

Ibram kembali ke rumahnya saat merasa situasi sudah membaik. Luka di wajahnya beransur sembuh sebab ibunya Bulan selalu memberinya salep luka. Maka dari itu hari ini Ibram berani menginjakkan kakinya ke rumah megah namun di selimuti sepi ini.

Di luar, tidak ada mobil ayahnya. Ibram jadi beranggapan bahwa ibunya pun tidak ada di rumah. Lima hari ini, Ibram di landa rindu berkepanjangan kepala sosok malaikat yang pernah sangat ia cintai tersebut. Sampai sekarang pun, Ibram masih mencintainya, walau dirinya terus bertekad untuk membencinya.

“IBRAM!! KEMANA AJA KAMU SELAMA INI?!! NGGAK PERNAH ANGGAP MAMA ADA, YA?!!”

Pekikkan spontan nan nyaring tersebut membuat Ibram yang baru saja menutup pintu ruang utama terlonjak kaget bukan main. Ibram meringis sejadi-jadinya saat melihat ibunya datang menghampirinya, dengan kedua tangan berkecak pada pinggang.

“Kemana aja kamu?! Nggak tau apa kalau Mama nungguin?!” tanya ibunya lagi masih mempertahankan wajah garangnya pada Ibram.

“Nungguin?” beo Ibram sembari tersenyum pahit. Hati ini percaya, tapi pikiran menolaknya dan berkata bahwa itu hanyalah bualan semata.

“Nggak tau ya?! Emang gitu kalau kamunya keluyuran terus. Mana tau kalau Mama nunggu kamu sedari hari lalu,” jelas Kharina mulai menurunkan satu oktaf suaranya, namun ucapan tajamnya masih setia bertahan.

“Aku nggak keluyuran. Mama tuh yang keluyuran, sampai nggak tau aku di mana selama ini.” Berani, Ibram menyahuti ucapan ibunya tak kalah nyelengit. Hanya jengah saja, dirinya selalu di salahkan padahal jelas dirinya tidak salah.

“Enak aja keluyuran! Tanyakan tuh sama Papa kamu yang selalu memopong Mama kemana-mana. Mama sih senang-senang saja, toh dia suami Mama.” Khaira mulai berkata hal yang aneh-aneh di depan Ibram, bahkan wanita itu tersenyum malu-malu dengan wajah menerawang.

“Kesurupan pasti,” gumam Ibram bergidik ngeri. Tidak heran, karena ibunya sangat mencintai ayahnya, begitupun sebaliknya. Sampai lupa bahwa ada Ibram di tengah-tengah mereka, berharap mendapatkan rasa cinta yang sama.

“Ehh mau kemana kamu?” cegat Khaira sambil menarik kerah baju anaknya dari belakang, yang sontak menghentikan langkahnya.

“Apaan sih, Ma?” tanyanya jengah, lantas berbalik kembali menatap wanita cantik itu penuh.

“Itu ... Bulan apa kabar? Mama kangen tau, kemarin Mama ada beliin dia kalung saat ke mal. Kenapa nggak ajak dia sekalian?” tanya Khaira sambil senyum-senyum sendiri.

Ibram memutar bola mata. Bulan lagi Bulan lagi. Padahal di sini ada anaknya sendiri yang bahkan tidak di tanyai kabar sebelumnya, malah di omeli dan di teriaki dengan tajam.

“Ngapai ngajak anak orang ke sini? Pergi aja ke rumahnya sendiri,” sahutnya sewot. Jika mamanya mulai membahas soal Bulan, Ibram bawaannya sewot terus. Kenapa juga harus Bulan, mentang-mentang calon menantu, sampai lupa anaknya sendiri pun butuh perhatiannya.

“Nyolot banget sih kamu, Bram? Mama rasa dulu kamu nggak gini deh,” kata Khaira dengan jengah.

Ibram terkekeh hambar. Jelas saja dulunya ia tidak seperti itu, sebab ibunya tidak pernah ada di rumah, bertegur sapa seperti sekarang, dan tidak melihat betapa mengerikannya Ibram dulu. Akhir-akhir ini saja Khaira mulai dekat dengannya, itupun hanya ada omelan atau tidak pertanyaan tentang Bulan.

Apa Bulan adalah perantara untuknya lebih dekat pada ibunya? Apa Ibram harus tetap mempertahankan Bulan di sisinya, tidak peduli bahwa ia tidak menyukai gadis itu. Hanya demi ibunya dekat dengannya. Haruskah?

“Jika Bulan tinggal di rumah ini, apa Mama juga akan tetap di sini?” tanya Ibram setelah merasa kesenyapan menyelimuti beberapa saat.

“Ya enggak mungkinlah Bulan mau tinggal di sini. Toh dia udah balik sama keluarganya, mereka jelas ingin menghabiskan waktu bersama,” balas Khaira sambil memukul pelan lengan anaknya.

Lihat selengkapnya