Semenjak pertemuan Arum pada laki-laki yang tidak ia ketahui namanya hari itu, sampai sekarang mereka tidak pernah lagi bertemu. Bahkan tidak pernah berpapasan di koridor.
Lihat, mereka bahkan tidak pernah bertemu begitu sering—nyaris tidak pernah. Lalu kenapa cowok itu seperti sudah mengenalnya dengan sangat baik dan lama. Arum tidak pernah ingat wajah pemuda tersebut, mereka tidak pernah bertemu, atau bahkan berkenalan dan dekat.
Arum jadi merasa bahwa cowok itu punya gangguan jiwa. Astagfirullah ... Arum mulai julid.
Tidak ingin ambil pusing, Arum bersikap bodoamat terhadap kejadian kemarin. Toh dirinya sendiri yang bilang bahwa kejadian hari itu tidak terjadi, dan bersikap bahwa mereka tidak duduk bersisian hari itu.
Ia masih berjalan sendirian, belum bisa bersama dengan Bulan jika saat istirahat datang. Bahkan Arum lebih memilih ke perpustakaan atau green house dari pada kantin.
“Loh, Rum? Sendiri lagi, lo?” tegur satu siswi di antara dua siswi di sampingnya.
Arum menoleh ke arah samping di mana Rara—cewek yang menegurnya berdiri tepat di sampingnya. Wajah cantiknya tampak terlihat dengan raut penuh cemooh. Arum jelas sadar bahwa teman lamanya ini sedang menyindir Arum yang lagi-lagi tidak beriringan dengan Bulan.
“Iya nih, sendiri aja. Lebih nyaman sih, dari pada sama yang lain tapi bermuka dua,” balas Arum tak kalah tajam. Arum yakin kini sindirannya sudah menusuk jantung perempuan cantik idola laki-laki remaja seusia mereka.
Rara tampak memaksakan senyumannya. Berusaha tidak terbungkam atas sindiran pedas ala-ala Arum Angreini. “Ngomong apa sih lo, Rum? Gue nggak nyindir lo kok,” kelakarnya berusaha bersikap biasa.
Arum mengangkat satu alisnya sambil menatap geli ke arah Rara. “Oh ceritanya lo nyindir gue tadi?” sarkas, Arum bertanya melupakan perkataannya yang mulai berubah.
Gelapagan, Rara kembali memaksakan senyum saat di buat dua kali terbungkam oleh perkataan Arum. “Enggak lah! Ngapain juga, kan?” kekehnya canggung, bahkan kedua temannya di sisi tubuhnya tampak menyibukkan diri pada kegiatan mereka masing-masing.
“Santai aja kali, nggak usah panik gitu. Kentara banget kalau lo tertangkap basah.” Setelah mengatakan perkataan tajam penuh jengah itu, Arum melangkahkan kakinya meninggalkan perempuan itu yang berdecak keras-keras di belakang sana.
“Huh! Jadi lo-gue kan aku!” rutuknya sebal.
Tidak ada lagi niatan untuk kemana-mana. Lantas kakinya hanya membawanya ke loker tempat biasa ia menaruh barang-barangnya. Arum ingin mengambil hpnya yang sengaja ia tinggal di sini saat mereka tengah berada di lapangan.
Lokernya terkunci, sandinya menggunakan angka. Tangannya mulai memencet tiap angka untuk bisa membuka lokernya. Saat merasa benar, cepat-cepat ia membuka loker dan mengambil isinya.
Saat tangannya ingin mengambil benda pipih tersebut, matanya tak sengaja menatap satu bunga mawar berwarna hitam. Tangan yang berada di dalam loker, mulai mengepal dengan keras. Wajahnya berubah mengeras, tanda ia marah.
Dengan jengah ia mengambil satu tangkai mawar hitam tersebut dengan kasar, membanting pintu loker hingga menyebabkan bunyi yang keras. Matanya menajam kala sepucuk surat hadir di tengah-tengah duri kecil namun tajam dari si mawar hitam.
Kita terikat. Jika lupa, biar gue ingatkan.
Singkat, tapi cukup membuat Arum muak luar biasa. Tidak bisa lagi ia kontrol emosi yang meletup-letup di kepalanya, bersiap untuk menyemburkan lavanya.
Tidak ada yang tahu password lokernya selain dirinya sendiri. Pikiran tentang Gavin, kini sudah tidak ada lagi dalam kandidat seseorang yang memberinya bunga. Menurutnya hanya ada satu orang yang bisa melakukan ini, yaitu si cowok yang memergokinya di ruang olahraga, cowok yang ia cap sebagai penguntit.
Tidak ada orang lain, jelas saja. Toh pemuda tanpa nama itu sudah menguntitnya sejak lama. Mustahil jika dia tidak tahu kata sandi lokernya. Astagfirullah ... Arum hendak memaki rasanya.
Kenapa hari ini Arum di buat sangat kesal? Tadi bertemu dengan teman lama yang bermuka dua. Lalu sekarang, setangkai bunga mawar yang berisikan kalimat menyebalkan. Apa lagi yang akan datang setelah ini? Apa akan meteor yang mengenai kepalanya?
“Sabar, Rum ... jangan emosi, dong. Nanti wajah maha sempurna ciptaan Allah yang di berikan untukmu luntur termakan keriput karena emosi,” celotehnya pada dirinya sendiri, berharap rasa yang meletup di kepala reda seketika.
“Astagfirullah halazim ... nggak boleh maki, Rum. Dosa,” ucapnya lagi sambil terus beristigfar, meminta agar jiwanya kian tenang dan tidak di selimuti oleh amarah yang dalam.
Merasa bahwa amarahnya mulai reda, Arum pun melangkah untuk membuang bunga tersebut, sebelum akhirnya mawar hitam itu hanya mampu melayang, dengan satu tangan kokoh di bawahnya, mencegah bunga tersebut jatuh ke dalam tong sampah.
“Dia terlalu berharga untuk di buang,” ucap si empu pemilik tangan yang menahan bunga mawar untuk segera terjun di antara tumpukan sampah.
Mendongak, Arum kembali di datangi amarah tak berujung. Berusaha mati-matian ia tadi untuk meredam amarahnya dan menelan api emosi dalam-dalam. Tapi pada akhirnya, amarahnya kembali hanya seperkian detik saja.
“Dan dia terlalu sampah untuk di simpan,” balas Arum sarkastik. Matanya menatap tajam si lawan bicara, sosok yang sama beberapa hari lalu.
“Udah tau si pemberinya ternyata. Nggak heran si malang bunga mawar di buang tanpa perasaan,” katanya sambil menatap bunga dengan kelopak indah berwarna hitam itu lekat.
Tak tahan, Arum memutar bola mata bersikap bar-bar di hadapan laki-laki tanpa nama tersebut. “Apa sih maumu? Jika ngefans, jangan fanatik. Jika pengen nerror, jangan pakai bunga mawar!” sentak Arum tak tahan lagi untuk tidak berkata pedas pada cowok tersebut.