Rumah megah kediaman Akbar Anshori kini tampak ramai. Di ruang tengah, satu keluarga dari Fernanda tengah berkumpul. Di dapur, Bulan dan Arum membantu bunda menyiapkan makan siang.
Ayah sudah pulang beberapa menit yang lalu, dan di kejutkan dengan tamu yang sudah duduk di ruang tengah. Ayah sudah bergabung dengan keseruan obrolan orang dewasa setelah beliau berganti pakaian.
“Nggak nyangka Bunda kalau bakal kedatangan tamu gini. Jika tau Bunda pasti bakal masak banyak,” ucap wanita berhijab itu di sela tangan yang memasak makanan untuk makan siang.
“Enggak sengaja ketemu di depan sekolah, Nda. Kata Om Nanda mereka mau mampir ke rumah,” balas Bulan.
“Sstt, Lan ... kayaknya kamu beneran mau di lamar, deh,” bisik Arum sambil terkekeh kecil.
“Astagfirullah, Arum ... jangan sembarangan, deh.” Bulan melotot ke arah sahabatnya yang dengan puasnya menggoda dirinya. Pipi Bulan merah, bagaimana bisa Tante Khaira berkata demikian padanya.
Hidangan makan siang kini sudah tertata dengan rapi di atas meja makan. Bunda masih membersihkan bekas memasaknya, sedangkan Bulan dan Arum sudah duduk di meja makan menunggu bunda selesai.
“Ayo panggil mereka, kita makan bareng,” kata bunda sambil menatap kedua anaknya.
“Iya, Nda,” balas Bulan sembari bangkit, matanya menatap Arum yang masih duduk di kursi dengan tenang. “Ayo, Rum?” ajaknya.
“Kamu aja yang panggil, Lan, aku udah nyaman, hehe.” Arum menyengir setelah usai menolak ajakan Bulan untuk ke depan.
Bulan menatap sebal ke arah sahabatnya, sebelum akhirnya menyelenggang pergi menuju depan. Bulan tampak masih grogi sebab godaan Tante Khaira. Wanita itu masih sama, selalu berkata dengan frontal tidak peduli bahwa Bulan hampir mati karena jantung yang berdetak melebihi batas normal.
“Om, Tante ... ayo makan siang bersama, kami. Bunda udah masak banyak, lho,” ajak Bulan diiringi senyum lembut dan sopan.
“Wahh, nggak usah repot, sayang,” kata Khaira sambil berdiri, “yuk, Pa, kita makan.” Wanita itu kembali tersenyum lebar.
“Aku mau pulang,” ucap Ibram datar, tangannya mengambil ransel di sampingnya dan di gendongnya. “Arkh!” ringisnya saat telinganya tiba-tiba di jewer oleh sang ibu.
“Mau nolak? Siap nggak kasih jatah makan selama sebulan kamu, Bram?” delik wanita itu sinis.
Ibram mengangguk pasrah, telinganya semakin terasa sakit karena mamanya semakin kuat menjewer telinganya. “Iya, Ma, aku ikut makan,” sahutnya ogah-ogahan.
Akhirnya Khaira melepas jewerannya, kemudian tersenyum ke arah Akbar dan juga Bulan. Setelah itu, ia menggandeng Bulan menuju dapur. “Ayo calon mantuku, kita ngobrol di meja makan saja,” ajaknya antusias.
Tidak bisa menolak, Bulan hanya tersenyum menanggapi keantusiasan wanita ini. Bahkan lagi-lagi tak bisa menolak saat ibunya Ibram mendudukkan dirinya tepat di sampingnya, bersebelahan dengan ayah Ibram.
“Wahh rendang! Tau aja kamu, Lian, kalau ini makanan kesukaanku,” seru Khaira masih dengan wajah antusiasnya. Sampai-sampai Fernanda harus menegur tingkah kekanak-kanakan sang istri.
Bunda tersenyum senang. “Silakan di makan.”