Biasanya jika pagi di hari Minggu, Arum akan mengajak sahabatnya untuk pergi ke acara di masjid kompleksnya. Tapi karena Bulan sedang ada kunjungan dari tantenya di Surabaya, maka dari itu Arum tidak mengajak gadis itu. Juga, Arum tidak pergi ke sana, tidak ada teman katanya.
Di setiap pagi juga, bunga mawar hitam selalu datang tanpa henti, tak peduli bahwa Arum berulang kali mengancam si pemberi bunga agar berhenti. Namun tampak acuh, cowok itu semakin gencar mengirim bunga berserta quotes alay di selipannya.
Arum kadang heran, kenapa ada cowok pencicilan seperti dia. Bahkan sampai detik ini, Arum sama sekali tidak tahu akan namanya. Ingin sekali Arum berkata bahwa cowok itu sudah gila, tapi sayangnya Arum masih takut dosa. Karena katanya, dosanya udah banyak banget, sebanyak buih di lautan.
Astagfirullah ... Arum akhirnya menyadari bahwa dosanya teramat banyak.
“Geli banget! Apaan dah ni tulisan? Puitis bingit!” celetuknya geli.
Bunga tulip itu akan mekar jika musimnya tiba. Tapi untuk kamu, tidak perlu lagi sebuah musim untuk memancarkan cantik di wajahmu.
Begitulah sekiranya isi puisi alay menurut Arum. Setiap paginya pasti ada saja puisi yang terselip di bunga mawar yang selalu datang ke rumahnya.
Apa harus dirinya yang menjadi sasaran gombalan pemuda itu? Arum tidak cantik menurutnya, wajahnya biasa-biasa saja. Arum juga punya wajah yang tampak jutek, ia juga tampak seperti gadis yang jago berantem. Tapi, kenapa cowok itu masih saja mau menggodanya padahal ia sudah berkali-kali menolak.
Ada apa sebarnya dengan laki-laki itu? Dan juga, setiap puisinya tampak mengarah pada sebuah kejadian atau tempat yang terasa pernah Arum alami sebelumnya. Tapi Arum tidak ingat.
“Untuk apa aku memikirkannya? Biarkan saja bunga ini menumpuk begitu banyak, kelamaan dia bakal bosan juga,” kelakarnya sambil melangkah untuk menaruh bunga tersebut di pot besar. Jelas saja besar, bunga yang di kirim berpuket-puket, sampai Arum harus menyiapkan tempat yang lebih besar. Jika di buang sayang, mubazir katanya.
Arum menatap bunga-bunga tersebut sambil berkacak pinggang, sampai kapan bunga ini berhenti datang? Malah Arum sendiri yang merasa bosan.
“Sudahlah, biarkan saja. Biar kamar aku jadi taman bunga,” decaknya pasrah kemudian melangkah keluar kamar, mencari udara segar bersama dengan ibunya.
—o0o—
Gedung tua tanpa lampu tersebut membuat kesan menyeramkan hadir di antara mereka semua. Bulan purnama sebagai penerang alami yang memberi cahaya pada ruang-ruang kosong bangunan tersebut sehingga mata masih mampu menatap tanpa perlu bantuan senter atau lampu. Di belakang gedung tempat mereka menaruh segala kendaraan, agar pancingan mereka tak merasa curiga jika melihat banyaknya motor di halaman depan.
Gedung ini adalah markas sekutu dari geng Ibram. Letaknya cukup jauh jadi kota, juga jauh dari pemukiman desa. Biasanya tempat ini menjadi tempat untuk membantai lawan, karena tempatnya yang jauh dari keramaian memudahkan mereka untuk menghabisi musuh dan membuangnya.
Geng Ibram sudah bersiap sedari tadi, hanya tinggal menunggu Nano datang sambil membawa musuh mereka kemari. Sekutu sedang pecah di beberapa ruangan, berjaga-jaga takut mereka membawa banyak teman.