Two Different World

Zaafatm
Chapter #23

Part 22. Olimpiade

Hari ini adalah hari di mana SMA Cahaya akan mengikuti lomba cerdas cermat di Jakarta Pusat. Perjalanan mereka cukup jauh hingga sampai di tujuan. Menggunakan mobil pribadi milik sekolah, Bulan, Iqbal, Ibram serta Pak Guna kini sudah setengah jalan perjalanan menuju tempat perlombaan.

Di jok depan, Bulan duduk bersama dengan Pak Guna yang menyetir. Di belakang, Ibram serta Iqbal duduk bersisian dengan tatapan tak bersahabat. Bulan asyik pada bukunya, begitupun dengan Iqbal. Namun tidak dengan Ibram, laki-laki itu malah asyik dengan ponselnya.

Tidak ada suara di dalam mobil, mereka asyik pada kegiatan masing-masing. Sampai pada akhirnya mobil mereka menepi di parkiran gedung tempat perlombaan ini di mulai.

Mereka masuk beriringan, ada banyak siswa-siswi berprestasi yang lalu lalang sepanjang jalan. Di dalam pun, sudah penuh akan siswa-siswi dari sekolah lain, mereka sibuk membaca materi di hadapan.

“Tujuan kita bukan memperoleh juara satu, tapi memperoleh ilmu. Jangan terlalu panik, santai saja,” ucap Pak Guna sambil tersenyum menyemangati anak didiknya.

“Siapa lawan kita?” tanya Iqbal.

“SMA Laksana Surabaya dan SMA Tirta Jakarta Selatan,” balas Bulan sambil duduk di kursi yang telah di sediakan sebelum lomba di mulai.

“Nggak ada apa-apanya mereka sama SMA kita. Toh, ada gue di sini,” ucap Ibram sambil mengangkat dagunya tinggi-tinggi—berlagak sombong atas dirinya.

“Lan, gue beli ini di depan tadi. Lo mau?” alih Iqbal sambil menyodorkan minuman botol yang sengaja ia beli dua di depan tadi.

Bulan tersenyum sambil menerima minuman yang di sodorkan eleh Iqbal. “Makasih ya, Bal,” ucapnya tulus.

Ibram yang merasa di acuhkan pun berdecak keras-keras, cowok itu menendang kursi kosong di sampingnya hingga terjatuh—membuat puluhan pasang mata menatapnya. Ibram tampak tidak peduli, ia mengeluarkan hpnya dan menyalakan musik di earphone yang terpasang ke telinganya.

Bulan menggeleng tak habis pikir dengan kelakuan laki-laki ini. Tak mau ambil pusing, ia mengalihkan perhatiannya pada buku yang ia coba pahami isinya.

Assalamualaikum wr wb ... Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Berhubung waktu sudah menunjukkan waktunya untuk lomba ini di mulai, kami akan langsung memulai perlombaan sesuai dengan apa yang telah di tetapkan,” ucap seorang pria di depan sana, pria itu menjelaskan peraturan dalam perlombaan kemudian memulai acara dengan memanggil nama sekolah yang terlebih dahulu memulai perlombaan.

Olimpiade Fisika saat ini mendatangkan sekolah yang memang lulus seleksi untuk bisa tingkat Nasional. Terhitung tiga sekolah dari berbagai daerah. Hanya tiga sekolah yang kini harus merebutkan piala Olimpiade Tingkat Nasional.

Di depan sana, persaingan panas terjadi, saling adu otak dan kemampuan berpikir yang luas. Masing-masing meja di isi tiga murid, dan mereka tampak sangat cerdas dalam berpikir dan menjawab pertanyaan. Waktu perlombaan hanya berkisar sepuluh menit, nilai di peroleh dari banyak serta benarnya jawaban yang mereka ajukan.

Bulan duduk di tengah—antara Iqbal dan Ibram. Ia tampak bersikap sangat profesional, tatapannya tenang tak mudah terbaca. “Bismillah ...” Ia ingin memperoleh nilai bagus di sini, agar ilmu yang ia pelajari tidak sia-sia.

Ibram tampak sangat santai, sembari memutar bolpint yang berada di tangannya, ia mendengarkan dengan seksama ucapan pemberi soal. Ia mulai meronehkan cara paling cepat yang ia punya dalam otak untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hanya beberapa detik, kini tangannya memencet tombol di depannya penuh percaya diri.

“Ya, Tim Merah.”

“Massa beban M adalah 10 kg dan massa silinder m adalah 5 kg. Jari-jari dalam silinder adalah r = 0,25 cm dan jari-jari luar R adalah 0,5 m,” jawab Ibram dengan mimik wajah serius.

“Jawaban sempurna!!”

SMA Cahaya mendapat 10 point. Perlombaan kian berlajut, Bulan tidak tahu bahwa Ibram akan sejago ini menjawab pertanyaan dengan cepat. Bahkan sekolah mereka benar-benar unggul dengan perolehan nilai 90. Waktu hanya terisa 2 menit saja lagi, dan Bulan berusaha untuk bisa menjawab pertanyaan ini dengan benar.

SMA Lentara hampir menyaingi point SMA Cahaya. Hanya beda sepuluh point saja untuk menyamainya. SMA Tirta memperoleh 60 point, namun semangat mereka tampak sangat berkobar—tampak optimis pada kemampuan yang mereka miliki.

Bulan masih mencari jawaban yang pas, sebab tidak ada hasil yang pas ia temui. Pelan-pelan ia kembali menorehkan pena ke atas kertas untuk mencari jawaban yang pas. Namun rasanya sulit sekali, sebab soal ini belum terlalu ia pahami.

Tett!

“Ya, Tim Biru!”

Lihat selengkapnya