Two Different World

Zaafatm
Chapter #24

Part 23. Penjelasan tak berujung

“Maaf kalau gitu jika selama ini saya menyakitimu. Tapi, bukankah bagus jika kamu merasakan sakit yang akan berbekas sampai mati. Bukankah terdengar seperti pengalaman yang hakiki?”

Ibram terlonjak kaget saat suara bariton milik seseorang menghentikan segala makiannya. Sontak ia membalikkan tubuh, dan membelak terkejut saat mendapati ayahnya berdiri di sana, dengan kedua tangan di masukkan dalam celana kain miliknya. Wajahnya tenang, tidak ada gurat kemarahan di sana.

“Pe-pengalaman?” beo Ibram sambil ternganga.

“Ya. Sebab akhirnya kamu tahu dan merasakan bagaimana rasa sakit tidak di hargai. Di saat kamu berjuang keras dan terus mencari perhatiannya, tapi ekspetasimu tak berjalan sesuai rencana. Bukannya sakit sekali, Nak?” ucap Fernanda dengan tenang, pria itu berjalan mendekat, duduk di kursi sambil melepas kancing jas mahalnya dengan ringan.

Ibram mengernyit, tidak mengerti akan ucapan pria yang kejam namun sialnya adalah ayahnya sendiri.

Fernanda mendongak, wajahnya tenang tanpa seulas senyum. “Apa kamu tahu, bahwa saya juga pernah berada di posisi kamu. Merasakan sakitnya tidak di hargai, dan ... cinta yang di renggut paksa.”

Ibram semakin tidak mengerti arah pembicaraan pria ini akan ke mana. Sebab ia tidak sangat mengenal ayahnya, toh bukan salahnya. Dia yang menjauh, dan merenggut semua kasih sayangnya.

“Saya mencintai Khaira lebih dari apapun. Dia wanita yang benar-benar mengubah saya menjadi lebih baik seperti sekarang ini. Karena dia saya bisa jadi pengusaha sukses, karena dia hidup saja jadi lebih banyak rasa,” tutur Fernanda kian lanjut, tatapannya lurus ke depan, memandang padatnya jalanan di hadapannya.

Benar, Ibram tahu pria ini sangat mencintai ibunya. Tapi yang menjadi keheranan yang tak kunjung reda ialah, mengapa pria ini menjadi terbuka seperti ini? Ibram jadi sangsi bahwa ayahnya ini kepentok piala Olimpiade saat di dalam tadi. Sungguh, Fernanda jauh lebih menyeramkan saat terbuka seperti ini.

“Dia wanita cerewet dengan sejuta tingkah pencicilannya. Dia anak orang kaya, hidupnya di manja dan di perlakukan seperti putri raja,” masih berlanjut, Fernanda tampak sangat menikmati bernostalgianya bersama masa lalu, “itu sebabnya saya berusaha keras membangun usaha, demi dia, saya lakukan apa saja.” Fernanda mendongak, menatap putra semata wayangnya yang kini memandangnya dengan bibir terbungkam sedari tadi.

“Anda terlihat bucin,” sinis Ibram akhirnya membuka suara, sorot matanya datar, namun ia agak senang karena bisa menjelajahi masa muda kedua orang tuanya lewat cerita pria yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Kali ini, Fernanda terkekeh, sangat ringan. “Benar, saya seperti budak cinta saat itu. Menikahinya dengan penuh kemewahan, mencintainya sepenuh hati, dan memberi apapun yang dia inginkan. Bukankah itu memang bucin?”

“Kalau ada kata lebih dari bucin, maka itu cocok dengan Anda.”

Fernanda mengangguk menyetujui, tatapannya yang teduh dan tenang, kini tampak mulai di banjiri gelap. “Saking bucinnya, saya tidak pernah menginginkan keturunan. Karena apa? Karena saya tidak pernah ingin cinta Khaira terbagi untuk anak kami. Masa bodoh dengan harta, sebab cinta lebih utama bagi saya,” ia menjada untuk menarik nafas kian panjang, “tapi Khaira menginginkan anak, dia menginginkan bayi perempuan, agar bisa di dandani seperti hobinya. Aku tidak pernah setuju, sebisa mungkin tidak ada anak yang tumbuh di rahimnya.”

Kejam. Benar, pria ini sungguh kejam. Bahkan Ibram muak mendengar kisahnya yang ini, hatinya terasa sakit. Hadirnya ia di dunia ternyata memang tidak pernah di harapkan. Bahkan ibunya, wanita itu mengharapkan anak perempuan. Seperti Bulan, yah ... gadis itu.

“Seperti katamu, saya bucin. Saya kabulkan keinginannya, saya tahan rasa sakit saat wanita yang saya cintai tampak berpaling,” ia terkekeh miris, “selama dia hamil, seluruh perhatiannya terarah pada calon anak kami, dia sangat mencintainya, menunggunya, memberinya kasih sayang. Lalu saya ...? Dia melupakan saya sebab bayi itu!” suaranya kian terdengar tajam, penuh rasa sakit yang dalam.

Ibram menjatuhkan bulir bening di pelupuk matanya saat ribuan belati tak kasat mata menancap sempurna di dada. Ngilu, sakit sekali.

Lihat selengkapnya