Di saat mereka sedang bersenang-senang, maka ia hanya memandang langit dengan tatapan hampa. Saat mereka tampak bahagia—berbagi tawa, maka ia hanya mampu mendatarkan rasa.
Ibram benci menjadi menyedihkan seperti ini, bisakah ia menjadi pemuda yang bisa menyombongkan diri bahwa ia punya keluarga serta kasih sayang yang besar. Bisakah hatinya sembuh dan tidak di torehkan luka kembali?
Di saat embusan angin terus menampar wajahnya dengan lembut, tidak membuatnya kembali pada alam sadarnya bahwa fakta yang ia jalani adalah kehidupan yang kejam.
Ibram terkekeh miris, ia menatap nyalang hamparan bintang. Ingatannya jatuh pada obrolan ayahnya, tentang cerita dan permintaan yang dia utarakan. Kenapa harus sekarang baru tawaran itu datang? Kenapa di saat lukanya tak mampu lagi untuk sembuh, ayahnya datang mengobatinya?
Ia tidak paham dengan keinginan pasti pria itu, dan Ibram yakin bahwa ini bukan seperti yang dia katakan. Dia pria picik paling menyebalkan. Haruskah ia mengumpat tepat di hadapannya?
Sialan!
Nyatanya ia tak mampu, karena pria itu adalah ayahnya. Sekuat tenaga ia tidak memberi bogem mentah serta makian padanya, sebab Ibram masih menghormatinya sebagai ayah. Walau dia sudah merenggut cinta yang ia punya, tapi tetap saja dia ayahnya. Dia yang sudah membawanya ke dunia kejam ini.
“Damn it!” sungutnya sambil menarik rambutnya. Otaknya benar-benar pusing sekarang, tidak bisa ia pikirkan dengan jernih apa yang harus ia simpulkan.
“Kakek-kakek menyebalkan!”
Ah, Fernanda masih muda, umurnya berkisar tiga puluh lebih. Jikapun dia punya cucu, pria itu mungkin tidak akan sudi di panggil kakek oleh cucunya. Ibram yakin, ayahnya pasti meminta untuk di panggil Om oleh cucunya.
Benar-benar pria menyebalkan!
Saat ini, Ibram berada di puncak. Di sini, ia bisa menatap hamparan bintang dengan tenang, berbaring di rerumputan, dan menikmati kesepian yang benar-benar nyata.
Tidak ada orang, hanya ada ia dan kegelapan. Tidak ada suara selain embusan angin serta hewan kecil di bawah sana. Niatnya ke sini ingin menjernihkan pikiran, namun tetap saja pikiran itu tak mau enyah dari otaknya.
Semenjak ia sibuk pada Olimpiade ini, Ibram sangat jarang bermain dengan wanita, berkumpul bersama temannya, bahkan berkencan dengan Viona. Segala kesibukannya benar-benar terarah pada perlombaan tersebut, namun sekarang ia menyesal telah berusaha sedemikian rupa.
Tidak ada yang menghargainya, karena ia tak kasat mata. Benar, hadirnya hanyalah embusan angin yang tak terlihat, namun tampak sangat di butuhkan.
Yah, di butuhkan untuk memenuhi permintaan mereka.
Ibram bangkit, tidak ada yang perlu ia pikirkan lagi saat ini. Ia lelah, ia perlu rehat sejenak. Sendiri, ya hanya sendiri.
Langkahnya gontai menghampiri motornya, lalu mengendarainya menuju Villa yang berada tak jauh dari tempatnya. Menghilang tanpa kabar bukan hal yang buruk, ia hanya ingin membuat mereka sadar akan arti kehilangan. Jika mereka tampak biasa saja, berarti memang ia yang tak di butuh kan.
—o0o—
Kelopak matanya terbuka pelan saat hawa panas menjalar seluruh permukaan kulitnya. Dahinya berkali-kali lipat berkerutnya, tampak aneh akan hal yang ia rasakan saat ini. Bahkan embusan nafasnya terdengar cepat, seperti sedang lari maraton.