Two Different World

Zaafatm
Chapter #26

Part 25. Kisah mereka

Di kompleks perumahan Bulan, gadis itu berjalan seorang diri sambil bersenandung sholawat. Sore ini ia ingin berkunjung di taman kompleks perumahannya untuk bermain bersama anak-anak yang sering berkunjung di taman tersebut. Sebab insiden beberapa bulan lalu, ia tidak lagi berani ke panti asuhan kecuali bersama dengan kedua orang tuanya. Masih ada trauma tentang jalanan bertebing juga sungai. Untung saja ia tidak lagi trauma terhadap bus.

Tidak banyak yang ia lakukan di taman tersebut, palingan berbagi camilan dan susu pada anak-anak. Kadang juga ia bermain bersama atau membacakan cerita. Di saat sore seperti ini, banyak anak-anak yang berkumpul di sana. Karena ia tidak punya teman di rumah, alhasil taman adalah tujuannya.

Matanya menangkap kumpulan anak-anak yang duduk berbaris sambil mendongak menatap seseorang yang duduk di atas kursi panjang. Sosok itu tampak menceritakan sesuatu yang hanya terdengar samar dari tempat Bulan berpijak saat ini.

“Kak, Bulan!” pekik salah satu dari mereka sambil berdiri, mereka semua tampak antusias atas kedatangannya.

Assalamualaikum ...,” salamnya sembari mendekat, tak lupa ia memasang senyum lebar menyambut keantusiasan mereka atas kedatangannya.

Waalaikumsalam ...” mereka membalas serentak—termasuk sosok yang duduk di atas kursi.

“Iqbal?” beonya saat menyadari sosok itu adalah Iqbal—partner Olimpiade saat itu. Bulan tersenyum padanya, pun di balas senyum juga.

“Rumah lo di sini?” tanya Iqbal dengan suara khasnya yaitu datar.

Bulan mengangguk pelan—tampak sedikit heran karena laki-laki ini mengajaknya berbicara duluan. Iqbal terdengar pendiam di sekolah, dia juga jarang terlihat akrab bersama dengan orang lain. Tapi melihat lelaki ini ramah padanya, tidak mungkin ia tidak membalas sama ramahnya. “Ada di blok E. Lalu kamu ...?” Bulan rasa, Iqbal tinggal lumayan jauh dari kompleksnya. Lalu, untuk apa dia kemari jauh-jauh seperti ini?

“Gue rasa lo udah tau,” balasnya sedatar biasa, lalu ia menunjuk satu bocah perempuan yang duduk di antara anak-anak lainnya. “Menemani Icha kemari,” jelasnya.

Bulan menoleh, lalu tersenyum. Anak itu tampak sangat cantik dengan piyama berwarna biru muda bermotif kuda poni. Anak itu memeluk erat boneka beruang nya—tampak sangat menggemaskan sekaligus sangat cantik.

Masyaallah Tabarakallah ... kamu cantik sekali,” puji Bulan sambil mencubit lembut pipinya. Anak ini memang baru pertama kali ia lihat di taman ini, dan ternyata dia memang bukan anak kompleks sini. “Ingin mendengarkan cerita Nabi Nuh yang membuat kapal besar?” tawarnya pada semua anak-anak.

“MAU!!” mereka membalas serentak—penuh minat.

Bulan tersenyum senang, lalu duduk di atas rumput bersama anak-anak lainnya. Sedangkan Iqbal masih duduk di atas—memberi ruang pada Bulan agar leluasa di tempatnya. Iqbal tampak sangat paham bahwa gadis ini memang sangat baik agamanya, paham mana batasan antara perempuan dan laki-laki yang bukan muhrimnya.

“Kalian tau? Nabi Nuh Alaihiasalam berserta umatnya membuat sebuah kapal besar yang bisa menampung banyaknya hewan serta manusia. Kapal itu sangat besar, aku pun tak tahu harus menyamakannya dengan apa?” Bulan mulai menceritakan tentang jaman Nabi Nuh As. Ceritanya mengalir dan mereka semua tampak sangat senang dan serius mendengarkan ceritanya.

Bahkan Iqbal hanya mampu terbungkam dan menatap lekat wajah manis gadis ini dari samping. Sungguh, dia punya pesona yang luas biasa indah. Ucapan selembut sutra dan sorot mata hangat dan halus sungguh membuatnya kehabisan nafas. Belum lagi senyumnya yang maha sempurna itu, ya ampun ... Iqbal mulai merasakan arti cinta sepertinya.

Tapi mencintai Bulan tak semudah yang ia pikirkan. Ia yakin gadis ini tidak akan pernah ingin mempunyai hubungan dengan lelaki manapun—kecuali suaminya kelak. Lalu, bagaimana cara Iqbal memilikinya tanpa harus membuatnya tak nyaman?

—o0o—

Tidak mudah bagi Ibram untuk melupakan dua mimpi yang datang di kurun waktu yang lumayan lama. Satu minggu ini ia tampak sangat stres memikirkan mimpi tersebut, bahkan ia menjauhi Bulan karena insiden hari itu.

Ibram tampak hidup seperti dulu, urak-urakan, nakal, biang onar, juga kriminal. Mimpi, Bulan, Viona, serta ucapan ayahnya benar-benar menghancurkan hidupnya saat ini. Sekuat tenaga Ibram berusaha tidak memikirkan hal yang tidak penting itu—namun tetap saja pikiran tersebut bergentayangan di kepala bak kaset yang rusak.

Mungkin yang lebih menguasai pikiran adalah ucapan ayahnya. Hingga saat ini ia tidak tahu sahutan apa yang harus ia katakan, ia tampak linglung sebab pria tersebut. Ucapannya benar-benar membuatnya kacau beberapa hari ini, bahkan nyaris tidak pulang ke rumah karena masih sangat bingung dengan keadaan.

Terdengar bagus saat pria itu mengajaknya berbaikan dan berdamai—berbagi satu wanita untuk mereka berdua. Tapi mana Ibram tahu alasan di balik ajakan baiknya, siapa tahu saja ia akan di manfaatkan suatu saat nanti.

Lihat selengkapnya