Sudah banyak waktu yang berlalu, segala kenangan indah dan buruk hanya tersisa ingatan saja. Waktu-waktu yang terus berjalan tanpa henti memberi sedikit pelajaran bahwa hidup itu sangat berarti. Jarum jam jelas tidak bisa berputar arah, yang artinya semua hal lalu tidak akan pernah di rasakan kembali.
Waktu kecil, waktu bermain bersama teman dan keluarga, itu semua jelas sudah menjadi memori indah yang tidak terlupakan namun tak bisa di ulang kembali. Semua hal yang berlalu punya segala hikmah yang tersimpan.
Begitulah bagi Bulan, ia sangat berharap bisa kembali ke masa kecil, di mana kehidupannya terasa lebih ringan dari sekarang. Tidak ada beban yang di pikul, sebab saat kecil yang hanya di pikirkan adalah bahagia.
Dan Bulan juga percaya, bahwa semua hal yang terjadi ada hikmahnya. Seperti kecelakaan satu tahun silam, kejadian tersebut membuatnya kian dekat dengan Allah. Kejadian tersebut seakan memberi gambaran pada manusia bahwa mereka adalah makhluk yang lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa kala Allah sudah memberi musibah.
Siapa sangka jika setelah kejadian itu ia jadi bertunangan dengan seseorang. Bahkan harapannya ia bisa di cintai oleh lelaki baik akhlaknya, pemuda yang baik hatinya. Tapi keinginannya ternyata berbanding terbalik dengan fakta.
Ia mengalami trauma, tiga bulan terpisah oleh keluarga, lalu mendapati fakta bahwa ia harus bertunangan demi sebuah jasa. Ia ikhlas melakukannya, tapi sabar ada batasnya. Ia di perlakukan buruk bahkan pernah di lecehkan, ia diam karena ia tanamkan bahwa Allah punya rahasia di balik semua ini.
Hampir satu tahun mereka terikat status pertunangan, dan hingga sekarang Ibram tak pernah menunjukkan bahwa dia menyukai Bulan. Ia tidak berharap, tapi ia merasa sakit sebab harus merasakan rasa suka sendirian. Haruskah pada Ibram? Kenapa harus dia? Bukankah Bulan menginginkan pria baik akhlaknya? Lalu ini, kenapa malah Ibram yang hati pilih menjadi seseorang yang ia cintai.
Ia hanyalah perempuan lemah yang mudah baper. Perilaku Ibram bahkan semena-mena terhadapnya, tapi kenapa hati masih saja memilihnya? Ini kacau, rasa ini salah.
Ibram punya banyak perempuan di luar sana, dan Bulan adalah salah satunya. Ia menyukai Ibram baru beberapa bulan, dan ia semakin suka terharap lelaki itu sebab sudah mulai berubah. Tapi, ia rasa ini benar-benar salah. Ibram tak pantas untuknya, ia tak bisa mengubahnya menjadi lebih baik lagi. Satu tahun cukup baginya bersabar atas segala tingkahnya, namun semuanya sia-sia.
Bulan hanya menyimpan rasa dalam diam, seperti perempuan takut kehilangan di luar sana. Biarkan saja rasa ini terpendam, hingga nanti waktunya pas untuk di keluarkan. Ntah apa yang akan tejadi kedepannya, yang jelas biarkan hati yang mengurusnya.
“Hai, gue boleh duduk di sini?”
Lamunan Bulan terpecah ke sembarang arah, ia menoleh ke arah samping di mana suara itu berada, kemudian melempar senyum ramah. “Duduk aja, Bal,” balasnya.
Saat ini sekolah tengah mengadakan classmeet, sebab ulangan semester genap sudah berlalu. Ada banyak jenis lomba sebelum pembagian rapot dan libur semester, dan Bulan hanya mengikuti lomba cerdas cermat dan bernyanyi rohis. Hanya itu yang ia bisa.
Dan Iqbal, pemuda ini sudah menjadi teman akrab Bulan. Ntah bermula dari mana, yang jelas pertemanan mereka baik-baik saja. Lelaki ini sudah tidak sedatar dulu, tidak sedingin dulu, kini wajahnya tampak mulai menghangat sebab senyum tipis yang selalu ia tebar pada beberapa murid yang berpapasan dengannya.
“Idih, pilihnya kamu strategis banget, Bal!” kata Arum sambil terkikik.
“Apa sih, Rum?”
Bukannya diam, Arum malah kian jadi menggoda sang sahabat. “Bal, kamu suka ya sama Bulan?” tanyanya frontal hingga membuat Bulan tersedak. Arum malah semakin tertawa. “Bener kan, Bal?” tanyanya lagi pada Iqbal.