Two Different World

Zaafatm
Chapter #31

Part 30. Sulit di tebak

Satu bulan lebih libur semester, sekolah kembali di mulai senin esok. Setelah murid baru mengikuti MOS selama tiga hari, lalu seninnya mereka akan resmi menjadi siswa dan siswi SMA Cahaya. Akan ada banyak cerita yang tercipta di jaman SMA, ada banyak suka duka yang terjadi selama tiga tahun tingkat Atas sekolah.

Satu bulan libur ini, Bulan habiskan dengan tinggal di Bandung tanpa kembali ke Jakarta. Satu bulan cukup baginya untuk memperbaiki hati dan perasaan, tanpa bertemu dengan Ibram semakin cepat pulih hati yang sempat remuk karena ulahnya sendiri.

Tidak akan ada yang terjadi lagi setelahnya, ia akan menciptakan kisah baru di tingkat akhir saat ini. Tidak ada cinta, tidak ada status, dan tidak ada perlakuan semaunya. Semuanya akan segera berakhir setelah Bulan memutuskan untuk tidak lagi terikat bersama Ibram, akan ia utarakan hal ini nanti di hadapan keluarga Fernanda.

Bulan siap di tatap kecewa oleh Tante Khaira, ia juga siap di tatap puas oleh Ibram. Lebih baik seperti ini, hatinya tak patut di taruhkan hanya demi sebuah balas budi. Tidak harus seperti ini untuk membalasnya, tidak perlu hati yang menjadi taruhannya.

Akan ada banyak cerita yang menyambut Bulan sebentar lagi, akan ada banyak tangis dan tawa yang hadir di akhir masa sekolahnya. Bersama teman-temannya, tidak sampai satu tahun lagi mereka bersama, semuanya akan berbeda lajur usai lulus SMA.

Semua peralatan sekolah sudah Bulan siapkan, semangatnya berkibar lebar untuk menyambut tahun akhir sekolahnya.

“Sayang, ada Iqbal di bawah,” ucap suara bunda diiringi dengan ketukan pintu kamar Bulan.

“Iya, Nda ... Bulan pakai hijab dulu,” balas Bulan sambil berjalan ke arah lemari untuk mengambil jilbab instan.

Ini kali pertama Iqbal datang setelah libur panjang, lelaki itu memang sering kemari. Bahkan bunda semakin akrab dengan laki-laki irit bicara tersebut. Kadang Iqbal datang membawa beberapa buku pelajaran yang akan dia pinjamkan pada Bulan, kadang juga lelaki itu membawa sang adik untuk mendengarkan cerita dari Bulan.

“Ada apa, Bal?” tanya Bulan sambil duduk di sofa hadapan Iqbal.

Iqbal menyodorkan paper bag berwarna pink ke arah Bulan. “Oleh-oleh dari Mama,” ucapnya.

Alhamdulillah, makasih ya, Bal.” Bulan menerima dengan senang hati. Ia melempar senyum ke arah Iqbal, tidak menyangka bahwa hadirnya hanya untuk memberikan oleh-oleh. Kebetulan, libur panjang kali ini, Iqbal ke Jerman bersama keluarganya. Di sana, dia juga punya kakek dari pihak ibunya, jadi lebih nyaman untuk mereka liburan lebih lama.

Iqbal mengangguk sebagai balasan, cowok itu membalas senyum Bulan dengan tipis. Lelaki dengan Hoodie putih ini menatap wajah gadis di depannya lama—tanpa di sadari oleh si empu. Dari tatapannya saja, sudah di pastikan bahwa Iqbal punya perasaan khusus dengan partner Olimpiade nya ini, tatapannya tak biasa yang di tujukan pada orang lain.

“Silahkan di minum, Nak Iqbal,” kata bunda mempersilahkan Iqbal untuk meminum teh yang baru saja beliau buat. Wanita berhijab putih ini duduk tepat di samping sang putri.

“Makasih banyak, Tante. Oh iya, ini buat Tante, sedikit buah tangan,” ucap Ibram sambil menyodorkan paper bag lain berwarna hitam.

“Ya ampun, nggak usah repot-repot, Nak. Ini, kamu juga yang kasih?” sambil menunjuk paper bag di samping Bulan, “terima kasih banyak lho, Nak Iqbal. Tante terima ya?”

Iqbal mengangguk, kembali tersenyum ntah untuk keberapa kali. Bibir yang semula hanya di biarkan lurus kini mulai melengkung sering, bahkan tak segan-segan menampakkan giginya yang rapih. Banyak perubahan yang di alami Iqbal selama mengenal Bulan, sifat dinginnya berangsur mencair seiring berjalannya waktu.

Assalamualaikum penghuni surga ...! Keluarga Fernanda terhormat hadir untuk meminang putri kalian.”

Suara dari arah pintu membuat tiga pasang mata langsung menatapnya, tak lama suara itu terdengar, hadir satu wanita yang memasang wajah paling ceria di antara dua laki-laki yang mengapitnya. Di satu tangannya, terdapat tas mahal bermerek. Dan pria di sampingnya, masing-masing membawa paper bag yang lumayan banyak.

Bunda berdiri, menyambut dengan senang. “Waalaikumsalam ...,” balas bunda sambil cipika-cipiki ala ibu-ibu zaman now, “silahkan duduk, Bu Khaira, Pak Nanda.”

Ada rasa aneh yang menjalar di hati saat Tante Khaira duduk di sampingnya, merangkul lengannya tampak sangat merindukannya. Bulan jadi ragu untuk berbicara akan keputusannya, nyatanya ia tidak bisa melihat orang lain kecewa karena ulahnya. Bulan tidak bisa melakukannya, ini terlalu berat baginya.

MasyaAllah anak Mama, kok makin cantik aja, sih? Duh, Ibram makin suka sama kamu kalau ini sayang.” Tante Khaira mencubit kedua pipi Bulan gemas, lalu menyematkan kecupan di keningnya. “I miss you, my Moon,” ucapnya sambil mengusap pipi Bulan penuh sayang.

Lihat selengkapnya