Mobil BMW hitam milik keluarga Anshori melesat membelah jalan ibukota, di dalamnya terdengar ramai canda tawa keluarga kecil ini. Di jok mengemudi, ayah duduk sambil menyetir, di sampingnya bunda duduk dengan tenang. Di jok belakang, Bulan dan Adam duduk bersisian, saling berbagi ceria dan canda bersama.
Mereka akan pergi ke museum dan masjid yang belum pernah mereka datangi, sebab acara kumpul seperti ini sangat jarang terjadi karena Adam masih kuliah dan bekerja di sana. Lelaki itu pun akan kembali kuliah S2 di Universitas yang sama. Maka dari itu, mencari hari luang untuk berkumpul sangat sulit.
Belum lagi nanti Bulan akan menyusul sang kakak, mereka akan semakin lama terpisah dan jarang berkumpul dan memberi kehangatan keluarga. Seperti inilah jika mempunyai anak, mereka akan dewasa dan di lepaskan dengan ikhlas menempuh hidupnya yang baru. Anak yang di harapkan tetap hadir di rumah kini tidak bisa lagi seperti biasa.
“MasyaAllah ... Bulan baru pertama kali liat dan pergi ke masjid ini,” kata Bulan dengan mata berbinar menatap bangunan kokoh dan megah di hadapannya. Interior mewah dengan kubah emas membuat Bulan terpana, rumah Allah begitu bagus di dunia, dan seindah apa di surga?
“Iya, kita jarang sekali jalan-jalan dan pergi ke tempat bagus,” timpal bunda.
Adam menghampiri Bulan, merangkul pundak sang adik lembut. “Nanti, di Prancis Abang ajak kamu ke semua masjid dan museum, juga tempat paling indah di sana,” tuturnya.
Bulan mengangguk semangat. Ia suka hal yang baru, suka banyak ilmu. Di masjid, ia akan mengetahui seluk beluknya, apa yang pernah terjadi, dan selama apa masjid ini di buat. Dan museum, Bulan suka tempat itu karena banyak sekali sejarah dan ilmu yang tidak ia pahami, dengan melihat secara langsung, ia yakin akan segera paham dengan sejarah yang hanya menjadi cerita dan kenangan.
Setiap memasuki bangunan yang mereka datangi, Bulan selalu memotretnya dan akan menunjukkannya ke Arum nanti. Ia juga akan membuat buku di setiap tempatnya. Sudah berkisar puluhan buku ia buat dengan tulis tangan sendiri, juga di isi foto hasil jipratannya.
“Setelah ini, kita bakal makan ke mana?” tanya ayah.
“Terserah Ayah aja, Bulan makan di maja suka kalau itu pilihan ayah sama bunda,” balas Bulan sambil menatap kedua orang tuanya bergantian, bibirnya tersenyum begitu lebar.
Ayah tersenyum lalu mengusap kepala anaknya lembut. “Ayah merasa tersanjung,” kekeh beliau.
“Bunda juga,” timpal bunda sambil mengecup pelipis sang putri.
Adam menatap adik dan kedua orang tuanya dengan senyum tipis dan tulus. Ada rasa bahagia di hatinya menatap keluarganya yang sudah kembali tampak normal. Ada banyak hal yang adiknya itu lalui hingga bisa kembali ceria seperti sekarang ini. Adam menyayangi adiknya satu itu, tidak akan pernah ia biarkan Bulan terluka kembali.
Jika berada di posisi Bulan, Adam tidak yakin bahwa ia bisa melaluinya dengan sangat baik. Mengalami kecelakaan di usia muda dan mengalami trauma dalam sungguh bukan hal yang mudah untuk di lalui. Belum lagi Bulan menghilang tanpa ada keluarga di sisinya, lalu bertunangan dengan orang asing di waktu yang sangat singkat. Tidak mudah melalui semua hal tersebut.
Maka dari itu, walau Adam jauh dari sang adik, ia akan tetap mengawasi segala hal yang dia lakukan. Adam tidak ingin terjadi apa-apa pada adiknya untuk yang kedua kalinya, cukup ia di buat sengsara akibat kehilangan selama tiga bulan lamanya.
—o0o—
Jika ada alat ukur kebahagiaan di dunia ini, maka Ibram akan menjadi nomor satu, atau bahkan melebihi batas maksimal. Sebab kini jantungnya tak berhenti berdetak cepat, bibirnya melengkung begitu lebar, dan matanya penuh akan binar. Semua hal ini terjadi persis seperti saat ia masih kecil, dan kini wajah cerianya kembali muncul hari ini.
Tidak ada sisi gelap lagi di wajahnya, tidak ada sorot tajam mengintimidasi lagi dari tatapannya, tidak ada lagi mulut yang memaki semaunya. Hari ini ia benar-benar berbeda, Ibram bagai kembali lagi ke masa kecilnya.