“Kenapa?” tanya Bulan saat Iqbal baru saja duduk di tempat kosong di sampingnya. Mata sembabnya berkedip secara lambat, seakan memang tidak ada kehidupan lagi di dalamnya.
Sekarang Bulan berada di taman yang tak jauh dari sekolahnya, ia tidak bisa bertahan begitu lama di dalam sana dan merasakan sakit kian dalam. Hatinya benar-benar terasa sakit, apa yang harus ia lakukan agar sesak ini menghilang?
“Karena gue suka sama lo,” balas Iqbal di iringi dengan helaan nafas.
Kali ini Bulan menoleh, menatap sendu ke arah Iqbal. Tidak ada raut terkejut dari wajahnya, karena memang sejak awal ia sudah menebaknya. “Tapi kenapa harus seperti ini cara mengungkapkannya, Bal? Kamu membuatku merasakan malu yang besar, bahkan di maki dengan tak berperasaan. Untuk apa kamu melakukan hal ini? Jika membenciku, maka jangan bilang bahwa kamu menyukaiku.”
“Cemburu itu mengerikan ya, Lan?” bukannya membalas, Iqbal malah bertanya. Tatapannya lurus tanpa menoleh, namun ada penyesalan di matanya. “Gue cemburu dan marah saat tahu bahwa lo bertunangan dengan Gavin. Gue berpikir cara apa yang pas untuk membuat hubungan kalian putus. Dan ini pilihan gue, membuat foto kita secara nyata, lalu menyebarkannya agar Gavin melihatnya dengan sangat jelas,” tuturnya dengan tenang.
Bulan menatap tak percaya atas apa yang baru saja laki-laki ini katakan. Bulan nyaris mengumpat saat mendengat perkataannya, nyatanya lebih berbahaya berjalan bersama dengan teman yang di percaya dari pada bersama dengan musuh. Teman yang menusuk dari belakang lebih mengerikan dari pada musuh yang paling membenci.
“Dari awal, gue memang menebak bahwa kalian memiliki hubungan yang serius. Cinta semenakutkan ini ternyata, bahkan bisa membunuh sekalipun demi apa yang dia inginkan tercapai,” ucapnya kian terdengar mengerikan, “gue nggak berniat membuat hal ini sebelumnya, tapi karena gue obsesi pengen bikin hancur hubungan kalian, dan akhirnya itu terjadi hari ini.”
“Dan kamu membuatku terluka. Itu bukan cinta, tapi obsesi. Kamu membuatku di perlakukan buruk oleh semua orang, Bal ... bahkan aku di hina oleh laki-laki yang aku cintai. Rasanya lebih menyakitkan dari pada seribu orang yang memakiku,” Bulan bersuara, air matanya hampir jatuh jika saja ia tidak mengusapnya.
“Benar. Gue udah buat lo malu di hadapan semua orang, dan terluka dalam akibat perkataan laki-laki yang lo cintai.” Iqbal menoleh, menatap wajah merah gadis di sampingnya. Rasa nyeri itu kembali hadir saat menatap betapa rapuhnya gadis itu hari ini—karena ulahnya. “Gue minta maaf. Gue benar-benar minta maaf, Lan ... sakit di dada gue mungkin nggak seberapa sama sakit yang lo alami saat ini, gue benar-benar minta maaf.”
Bulan mengusap air matanya yang terjatuh kembali, sekuat tenaga ia tidak terisak kembali dan terlihat menyedihkan. “Aku bukan Tuhan atau Rasul yang bisa memaafkan kesalahan orang lain dengan mudah. Aku permisi, Assalamualaikum,” putus Bulan sambil beranjak dan pergi. Membiarkan air matanya berjatuhan membahasi pipinya kembali. Ntah sampai kapan sakit ini akan tinggal, tapi sungguh, ia sudah tidak tahan menampungnya.
Kakinya membawanya menjauh, tatapannya kosong dengan dada yang masih sangat sesak. Ntah apa lagi kejutan dari Allah yang akan datang menunggunya, hatinya di tempa agar kuat, tapi rasanya memang semenyakitkan ini ya?
—o0o—
Bulan berjalan dengan tatapan kosong setelah menuruni bus di halte depan kompleksnya. Kini kakinya berjalan untuk sampai ke rumah, seperti ada banyak beban yang berada di kakinya—hingga rasanya sulit sekali di gerakkan.
Air matanya sudah habis, hanya ada sisa-sisa yang mulai mengering. Tidak ada pandangan ceria lagi di matanya, semuanya sirna dalam satu jam saja. Rasa bahagianya tak berselang lama, apa lagi mengingat tempat kejadian di foto tersebut, membuat Bulan hendak memaki begitu banyak pada Iqbal.
Ia tidak pernah menyangka bahwa teman yang ia percaya bisa menusuknya dari belakang dengan embel-embel menyukai. Tidak ada orang yang mencintai berani melukai seorang yang dia cinta sedemikian rupa, ntah apa nama orang yang seperti itu.
“Astagfirullah, Bulan!” pekik Adam saat melihat berjalan sempoyongan ke arah pagar rumah. Segera ia berlari menghampiri adiknya yang pucat pasi. Adam bahkan lupa mematikan keran saking paniknya.
“Bang Adam ... Bulan capek,” lirihnya sebelum jatuh pingsan. Ia lelah, sangat lelah.
“Ya Allah ...,” bunda datang sambil mendekap mulutnya melihat si sulung menggendong adiknya untuk di bawa masuk ke dalam rumah. “Nak, ada apa dengan adikmu?” panik bunda mengekor dari belakang.
“Adam nggak tau, tiba-tiba dia datang terus pingsan di depan,” jelas Iqbal sambil membawa adiknya ke kamar. Kedua tangannya tergepal kuat, ia yakin ada sesuatu yang terjadi saat di sekolah. Dan Adam akan pastikan ia akan menghajar habis orang yang telah membuat adiknya sekacau ini.
“Biar Bunda panggil dokter.” Bunda langsung berlari untuk menghubungi dokter keluarga mereka.
“Siapa yang bikin kamu seperti ini, Dek?” gumam Adam sambil memperbaiki tataan hijab yang telah berantakan. Sorot matanya menajam, ada satu orang yang terlintas di pikirannya jika melihat adiknya berantakan seperti ini.
Tak lama bunda kembali masih dengan wajah paniknya. “Dokter Fani datang sekitar sepuluh menit lagi,” tutur bunda sambil duduk di sisi tempat tidur, tangan beliau mengusap pipi putrinya yang dingin dengan tangannya. “Apa yang terjadi, Nak? Kenapa kamu buat kita semua khawatir seperti ini?” gumam bunda dengan mata berkaca-kaca.
Adam memandang sendu ke arah wajah Bulan, sungguh ia merasa dendam saat melihat keadaan adiknya yang kacau seperti ini. Selama hidupnya, ini pertama kali Adam melihat adiknya kacau, dan akan ia pastikan orang itu tidak akan tenang setelahnya.
“Bunda tanya ke sekolah aja, ya?” bunda hendak bangkit, namun sang sulung menahan tangan beliau.