“Kamu beneran bakal pindah sekolah, Lan?” tanya Arum untuk kedua kalinya. Raut gadis ini tampak lemas saat sang sahabat mengangguk mengiyakan, Arum merasa sedih.
“Ini pilihan yang baik, Rum. Aku tidak punya nyali besar untuk kembali melihat wajah mereka.” Bulan menunduk.
Saat jam pulang baru saja berbunyi, Arum langsung pergi dari sekolah dan menghampiri rumah Bulan. Arum tampak sangat cemas saat Bulan pergi dan tidak kembali lagi, bahkan handphonenya tidak aktif. Sehingga ia datang kemari untuk memastikan bahwa sang sahabat baik-baik saja. Tapi saat kemari, ia harus mendapati kepindahan sahabatnya.
“Maaf hanya diam saat kamu di hina, Lan ... sahabat macam apa aku ini?” Arum menertawakan dirinya sendiri.
Bulan menggeleng keras sambil menggenggam tangan sang sahabat. “Ini memang terjadi begitu tiba-tiba, semua orang terkejut,” kata Bulan menenangkan. Tidak ada yang perlu di salahkan, semuanya sudah terjadi.
“Kapan kamu akan pergi, Lan? Tapi kamu masih turun sekolah, kan?” tanya Arum penuh harap.
“Maaf, Rum.” Bulan menunduk.
Arum langsung memeluk sahabatnya ini erat, rasanya hendak menangis. “Terima kasih udah mau jadi teman aku selama ini, Lan. Terima kasih udah buat aku berubah menjadi lebih baik. Terima kasih atas segala kebaikan dan kebahagiaan yang kamu berikan. Kamu adalah teman paling baik sedunia, kita bakal ketemu lagi satu tahun yang akan datang.”
Bulan membalas pelukan Arum tak kalah erat, matanya kini sudah basah. Inilah yang harus ia hadapi—tangis perpisahan. “Seharusnya aku yang berterima kasih. Karena kamu hidupku terasa sangat ramai. Kamu selalu ada untukku, Rum, begitu banyak kenangan yang tercipta di antara kita. Terima kasih juga untuk semuanya.”
Bulan akan mengatakan juga ini pada keluarganya. Nyatanya perpisahan itu menyakitkan, walau akan bertemu kembali dalam kurun waktu yang singkat. Namun tinggal bersama orang asing bukanlah hal yang mudah, Bulan juga harus beradaptasi di sana.
“Kita bertemu satu tahun yang akan datang. Tetap menjadi Arum, ya? Sahabatku yang paling garang,” kekeh Bulan sambil melonggarkan pelukan mereka.
Arum mengusap pipinya yang basah, kemudian mengangguk dan tertawa. “Pun dengan kamu, tetap jadi Bulan yang kuat,” pesannya.
Bulan yang kuat, ya? Sepertinya memang harus menjadi kuat selalu. Sebab gerimis bukan apa-apa, karena badai sudah sering di lalui.
—o0o—
Di saat matahari hendak kembali ke peraduannya, puluhan anak remaja kini berkumpul dengan mimik wajah garang semua. Kemarahan tercetak jelas di wajah mereka semua, ada banyak dendam yang tersimpan di hati masing-masing.
Jalan buntu dekat hutan adalah tempat penyerangan yang akan terjadi dari kedua geng besar ini. Tubuh yang kekar, bahkan masih membawa senjata. Mereka bagai siap menjemput ajal, seakan memang nyawa mereka bisa di beli kembali.
Di antara kemarahan yang tercetak jelas di wajah mereka, maka ada satu wajah yang tampak santai. Zero. Laki-laki dengan tindik di satu daun telinganya itu menatap wajah lawannya puas, merasa begitu menikmati tatapan membunuh yang di layangkan musuhnya.
Gavin Angkasa.
Laki-laki yang tidak pernah bisa di kalahkan oleh siapapun, ketua preman sekalipun. Laki-laki itu terlalu mengerikan dan kriminal di umurnya yang masih muda, bahkan bisa menjadi malaikat pencabut nyawa.