Kelopak matanya terbuka secara perlahan, hawa panas menerpa tubuhnya kala matanya terbuka. Sesaat hanya ada diam tanpa pergerakan dari tubuhnya, namun sedetik kemudian ia memekik sambil mengedarkan pandangannya.
Tempat apa ini? Tanyanya. Kenapa ... semua orang tidak menggunakan pakaian? Dan kenapa ... matahari berada tepat di atas kepalanya. Ia mundur menjauh, namun matahari masih setia berada di sana—dekat dan membakar kulitnya dengan panasnya yang membara.
“Apa ini?” tanyanya nyaris memekik. Tubuhnya mandi keringat, dan ntah kenapa ia jilat begitu saja air peluhnya. Ini panas, sangat panas.
Ia berlari kemudian, berlari kencang tanpa menoleh. Ada banyak sekali orang di sini, mereka bagai di kumpulkan di tempat yang sama. Sebesar apa tempat ini hingga mampu menampung banyaknya orang seperti ini? Dan mereka datang dari mana? Pun dengan dirinya yang tiba-tiba berada di tempat yang sangat asing dan mengerikan ini.
“Lihatlah manusia ini, dia adalah manusia dengan hati yang sangat hitam. Di seluruh tubuhnya di penuhi oleh dosa, bahkan tidak ada tempat untuk cahaya di sana.”
Ia tersentak kaget saat mendengar suara besar dari sini, suara yang menggema. Ia mengedarkan pandangannya, dan kembali terkejut saat melihat ribuan ratus orang menatapnya penuh ledekan. “Siapa kamu?!!” teriaknya menggema. Suara itu seakan sengaja mempermalukan dirinya.
Ia meringsut mundur kala suara-suara aneh saling bersahutan menyuarakan kejelekannya. Semua tentang keburukannya. Ia menutup telinga, berharap suara itu enyah dari pikirannya. Langkahnya semakin memundur, lalu terhenti saat ia nyaris terjatuh.
“Ah!” ia sontak kembali menjauh dari tempat yang sekarang ini berada di hadapannya. Apa ini? Kenapa semua orang melalui jembatan tak kasat mata dengan jurang di bawahnya? Dan kenapa ada yang selamat, dan terjatuh bahkan baru saja menginjakkan kakinya di sana.
“APA INI?!!” teriaknya pada tempat ini, “KELUARKAN AKU DARI SINI!!” ia semakin mundur kala melihat banyaknya orang yang terjatuh ke dalam jurang tersebut. Apa yang tengah mereka lakukan? Kenapa harus menyeberang jika risikonya sangat besar? Di mana sebenarnya ia saat ini?
Tubuhnya terasa di dorong mendekat pada jurang tersebut, sekuat tenaga ia menahannya—namun nihil. “Stop!!” pekiknya sambil menahan dorongan keras ini. Ia enggan berjalan di sana, berjalan di jembatan tak kasat mata dengan jurang api di bawahnya. Tidak, ia tidak akan pernah melakukannya.
Nafasnya menderu dengan kencang saat melihat jurang ini begitu dalam dan gelap, bahkan jembatan tak kasat mata ini tak terlihat ujungnya. Apa yang harus ia lakukan?
“Arkh!” pekiknya kala kaki telanjangnya menyentuh permukaan jembatan tak kasat mata. Darah mengalir di betisnya, jembatan ini bagai setiap membelah tubuhnya.
Ia ingin mundur, namun tubuhnya seakan di dorong maju. Langkah demi langkah ia jalani dengan terlatih-latih, rasa sakit di kakinya nyaris terasa putus. “ARRGHH!!” pekiknya lagi saat tubuhnya terjatuh dari jembatan tersebut, namun tangannya masih mampu menahan agar tidak terjatuh ke dalam jurang.
Kini tangannya yang mengeluarkan darah. Seakan di belah dengan pedang tajam, seyetannya setajam silet. Ia kembali melanjutkan dengan menggantung, berharap mampu mencapai akhir dari jembatan ini.
“ARKH!!!!!” tubuhnya terjatuh, dan siap menghantam larva panas di bawah jurang ini.
“TINGGALAH KAMU DI NERAKA!” kata suara itu untuk terakhir kalinya, sebelum panas membakar tubuhnya dan hancur menjadi abu.
“HAH!!” Ibram terbangun dari tidurnya dengan peluh keringat bercucuran, bahkan kasurnya benar-benar basah akibat keringatnya. Nafasnya menderu dengan sangat kencang, seakan nafasnya di cekat beberapa jam. Pasokan oksigen terasa menipis di paru-parunya, bahkan ia nyaris mati saat mimpi itu hadir.
Ibram mengecek tubuhnya, tangannya, juga kakinya. Namun tidak ada satupun yang terluka, tidak ada yang hancur dari tubuhnya. Bahkan kini, ia bisa melihat dirinya di cermin sisi kamarnya. Mimpi itu, mimpi yang sama mengerikannya seperti dua mimpi terakhir kali. Rasanya nyata, rasanya memang benar-benar berada di sana.
Ia mengusap wajahnya sebelum benar-benar bangkit. Ia menatap jam di dinding, pukul sepuluh pagi. Cukup lama ia tertidur. Ibram baru saja terlelap pukul lima dini hari, bukannya merasakan ketenangan, ia malah merasakan aura kematian sudah berada dekat dengannya.
Ibram memejamkan matanya, ingatan tentang mimpi itu tergambar dengan sangat jelas di pikirannya, membuatnya merasakan gemetar ketakutan. Bahkan saat ini ia kembali menangis, menangis karena ketakutan.
Segera ia merampas kunci motornya dan jaket di atas kursi, hal pertama yang ia cari adalah keluarga Anshori. Ia perlu penjelasan, sungguh ini sangat menakutkan.