Malam sudah semakin larut, dan Ibram masih setia menunggu kepulangan keluarga Anshori. Tubuhnya ia biarkan duduk di trotoar jalan depan rumah megah ini, berjam-jam ia menunggu tanpa kepastian.
Jakarta-Surabaya itu sangat jauh, jika di tempuh dengan mobil sekitar 10 jam lamanya. Belum lagi mereka kembali pulang, butuh begitu banyak waktu yang di tempuh.
Harapannya hanya satu, berharap Bulan kembali ke sini dan tidak jadi pindah sekolah. Ibram berharap gadis itu berubah pikiran, itu adalah satu-satunya alasannya menunggu begitu lama di depan rumah ini.
Sudah pukul sepuluh malam, dan mustahil bahwa gadis itu berubah pikiran. Mungkin saja sekarang dia telah tertidur di asramanya, dan keluarganya mungkin menginap di Surabaya.
Akhirnya ia bangkit, berjalan sempoyongan seperti tak bernyawa ke arah motornya. Harapannya telah pupus, bahkan ia tidak tahu tempat di mana gadis itu bersekolah. Atau mungkin saja ia tahu, Bulan tidak akan mau bertemu dengannya.
Kini yang ia lakukan adalah kembali ke rumah, bukan apartemennya. Ketakutannya kembali hadir di sana sebab mimpi beberapa jam yang lalu. Ia juga membutuhkan ayah Bulan untuk membantunya memahami masalah ini, sungguh ini menakutkan.
Seumur hidup Ibram, yang ia takutkan adalah kehilangan ibunya. Selain itu, ia tidak pernah merasakan ketakutan dengan sebuah hal. Tapi kali ini, tiga mimpi yang datang satu tahun terakhir ini membuatnya di serang ketakutan. Bahkan rasanya lebih mengerikan dari kematian.
Ibram siap di marahi orang ibunya sebab membuat Bulan terluka lagi. Atau di diamkan oleh beliau karena telah membuat hubungan mereka benar-benar berakhir. Mungkin letak kesalahannya bukan pada hubungan mereka, tapi pada mulutnya yang begitu tajam saat bersungut.
Seperti di mimpinya, tubuhnya di penuhi dengan dosa, tidak ada setitik cahaya di sana sebagai penerang. Saat ini ia paham, bahwa mimpi itu sungguhan. Ia akan berada di tiga mimpi itu nanti. Di tenggelamkan oleh laut, di makan oleh lempengan bumi, dan di hina di akhir nanti. Dan setelah itu, neraka adalah tempat yang pas untuknya sebab dosa yang ia perbuat.
Lihat, tubuhnya meremang saat memikirkan itu semua. Besok, ia akan meminta penjelasan pada ayah Bulan, dan berharap mampu kembali ke jalan yang benar.
—o0o—
Saat pagi datang, Ibram sudah berdiri di depan pagar rumah kediaman keluarga Anshori. Pintu utama belum terbuka, tapi sudah ada mobil mereka di sana. Yang artinya tuan rumah memang sudah datang, dan Ibram berharap anak gadis mereka benar-benar berada dalam satu rumah yang sekarang tengah ia tunggu sedari tadi.
Tubuhnya menegak kala perempuan paruh baya membuka pintu utama rumah mereka, lalu tersentak melihat keberadaan Ibram. Sontak wanita itu berjalan mendekat, membuka pagar tinggi yang menutupi setengah dari rumahnya.
“Astagfirullah!” pekik wanita itu kala Ibram tiba-tiba berlutut di bawah kakinya, cepat-cepat bunda menarik pundak anak ini untuk segera bangkit. “Nak Ibram, apa yang kamu lakukan, Nak?” tanya Berlian cemas.
“Maafin saya Tante ... maaf sudah buat Bulan pergi. Maafkan saya ...,” ucap Ibram nyaris terisak. Tubuhnya di bantu bangkit, namun ia enggan. Berlutut saja tidak cukup untuknya memohon maaf pada keluarga yang putrinya tengah ia lukai.
“Nak ... bangkitlah, kita bicarakan baik-baik di dalam,” kata Berlian masih berusaha membangkitkan anak laki-laki ini.
“Untuk apa lo ke sini?” sarkas Adam bertanya, laki-laki dengan celana kain panjang serta kaos oblong berwarna abu-abu menatap nyalang ke arah Ibram.