Two Different World

Zaafatm
Chapter #40

Part 39. Happy Gradution

Satu tahun kemudian ...

Gadis dengan hijab serta baju panjang namun tampak begitu elegan turun dari dalam mobil. Sneakers yang dia gunakan terdengar menggema saat menginjak lantai marmer teras depan rumah megah ini. Jam tangan di pergelangan tangannya menunjukkan pukul satu siang. Hari begitu cerah seakan memang menyambut kepulangannya.

Assalamualaikum ...,” katanya sambil memasang senyum selebar mungkin.

Waalaikumsalam ... seben—MasyaAllah putri Bunda!!” pekik Bunda sambil berlari menghampiri putrinya yang berdiri di dekat sofa ruang tengah. Beliau sampai lupa melepas spatula di tangannya saking terkejutnya melihat keberadaan putrinya di rumah ini.

Bulan merentangkan tangannya, menyambut dekapan hangat bunda. “Bulan kangen, Nda ...,” rengeknya nyaris menangis.

Di hari perpisahan, bunda dan ayah memang datang. Tapi karena Bulan masih banyak acara di sekolahnya, sehingga kedua orang tuanya pulang duluan. Dan hari ini, ia di jemput langsung oleh kakaknya yang sengaja pulang demi menjemputnya. Bulan sangat senang juga terharu.

Bunda mendaratkan kecupan-kecupan di seluruh wajah Bulan. Kemudian kembali memeluk putrinya ini erat. Dua hari melepas rindu bersama putrinya di Surabaya tidak cukup baginya, lalu kembali di pisahkan dengan waktu selama satu minggu.

“Kenapa nggak bilang kalau pulang hari ini, Nak ...? Bunda bisa masak banyak makanan kalau seperti ini,” kata bunda sambil menuntun putrinya ini untuk duduk di sofa.

“Kata Bang Adam, biar surprise,” balas Bulan sambil melirik kakaknya, lalu tertawa bersama.

“Kejutan kamu berhasil sayang, Bunda benar-benar terkejut,” kata bunda sambil menjawil hidung Bulan, kemudian merentangkan tangannya kepada kedua anaknya.

Bulan memeluk erat bunda dan kakaknya, menikmati kehangatan dari dekapan orang yang tersayang. Lukanya sudah sembuh, ia tampak sangat fresh. Semua akan membaik seiring berjalannya waktu, dan satu tahun sudah cukup bagi Bulan untuk memaafkan mereka yang telah membuatnya terluka.

Kisah masa sekolahnya benar-benar selesai, dan ia sangat bersyukur karena pernah di beri segala macam rasa di saat masa sekolahnya. Pemahaman, sikap mandiri dan dewasa, serta pengalaman adalah hal yang ia ambil dari segala masalah yang di hadapi. Ia sudah punya bekal untuk merintis hidupnya ke depan, hidup yang sesungguhnya.

“Sepertinya Ayah di lupakan,” kata pria bersetelan gamis cokelat tersebut dari arah pintu.

Mereka semua menoleh, kemudian tertawa dan menarik ayah untuk berpelukan kembali. Keluarganya utuh, cinta dan bahagia mereka tebar bersama, membagi kehangatan yang tidak bisa di dapatkan dari orang lain.

—o0o—

“Bulan kembali?” tanya Ibram langsung saat ibunya selesai bercengkerama bersama ibu Bulan di seberang telepon. Ada rasa bahagia di hatinya saat mendengar nama Bulan di sebut dalam obrolan mereka. Jantungnya berdebar begitu kencang.

Khaira menoleh, kemudian tersenyum dan mengangguk begitu antusias. “Mama otewe sekarang. PAPA!! AYO PAA BURUAN KE RUMAH AKBAR!!” teriaknya menggema.

Sebelum ibunya beranjak untuk siap-siap, Ibram sudah dahulu pergi dan melesat bersama dengan motornya. Salahkan ia jika merindukan gadis itu? Apa dalam Islam, merindukan sosok perempuan itu tidak boleh?

Kedua tangannya memegang stang motor dengan sangat erat, melampiaskan rasa senang di hatinya. Bahkan kini ia tidak peduli kemacetan, sebab jalan tikus sudah sangat ia hapal. Hanya sepuluh menit waktu yang ia tempuh untuk sampai pada kompleks Bulan.

Saat melalui taman, matanya tak sengaja menatap gadis berhijab yang tengah duduk di salah satu kursi taman—tepat di bawah pohon. Motornya melambat seiring dengan mata yang tak lepas dari wajah gadis yang tampak mengedarkan pandangan ke sekelingnya—menikmati suasana taman.

Pelan, ia turun dari motor. Pelan juga, ia melangkah mendekat. Gemuruh di dada nyaris membuat jantungnya terjatuh, darahnya berdesir begitu kuat. Matanya terasa panas saat melihat sosok itu tepat di depan matanya.

“Bulan Azzahra?” panggilnya pelan nyaris berbisik. Satu tetes air mata jatuh menghantam pipi. Nama yang selalu ia lantunkan dalam doanya, nama yang selalu ia gumamkan kala menatap bulan. Dan kini, ia menyebut nama itu tepat di depan sang empu, tepat di depan gadis yang ia rindukan.

Gadis itu mendongak, raut terkejut tak terelakkan dari wajahnya yang terlihat semakin putih. Hanya ada kebisuan di antara mereka, seakan jarak yang membentang begitu lebar di tengah-tengah mereka.

“Bulan Azzahra?” panggilnya sekali lagi, kemudian mendekat dan berlutut di hadapannya. Air matanya tumpah tanpa di minta, tanpa malu menangis di hadapan gadis yang masih ia cintai.

“Ibram ...?” lirih Bulan dengan nafas yang terasa sesak, “apa yang kamu lakukan?” Bulan hendak membawa Ibram bangkit, namun pemuda yang sudah sangat lama tidak ia lihat itu menunduk begitu dalam sambil terisak.

“Maafkan aku, Lan ... maafkan aku ...,” kata penuh penyesalan.

Bulan membeku. Sejak kapan laki-laki ini menggunakan kata aku? Dan ke mana hilangnya dua tindik di telinganya? Apa yang tidak Bulan ketahui selama ia tidak berada di sini?

Ibram tidak berani mendongak, ia begitu malu menunjukkan mukanya di hadapan gadis yang ia sia-siakan bahkan ia lukai perasaannya. “Aku salah pernah membuatmu terluka bahkan di permalukan selama ini. Maaf sudah membuatmu merasakan sakit hati karena ulahku. Maaf sudah membuatmu pergi dan meninggalkan kebahagiaan di sini. Maafkan aku, Bulan ...” tidak ada kata lain yang bisa Ibram katakan selain maaf. Jika waktu bisa di ulang, ia berharap tidak pernah menyia-nyiakan gadis ini dan melukai hatinya lagi.

“Ibram ...,” Bulan tak mampu berkata melihat laki-laki ini begitu rapuh di hadapannya. Apa kepergiannya berdampak begitu besar bagi laki-laki ini? Kenapa rasanya sesak saat melihat pemuda yang selalu tegar kini tampak rapuh di hadapannya? “Tidak ada yang perlu di maafkan. Semuanya sudah berlalu, dan aku baik-baik saja. Jadi, bangunlah ... tidak perlu seperti ini,” kata Bulan setelah membiarkan hening cukup lama.

Kini, Ibram mendongak. Tangisnya perlahan mereda, di gantikan dengan rasa sakit yang dalam. Betapa bodoh dirinya pernah membuat perempuan ini terluka begitu parah. Begitu bodohnya ia telah menyia-nyiakan cahaya dalam hidupnya yang gelap. Ibram benar-benar menyesal telah membuat gadis ini sengsara.

Ibram bangkit, duduk di samping Bulan dengan jarak yang lumayan. Ia memandang wajah perempuan yang tengah menunduk ini lekat, tidak ada yang berubah dari Bulan. Dia tetap gadis yang menjaga pandangannya, dia tetap gadis cantik dengan perkataan yang selembut sutra, dan dia tetap gadis yang ia cintai.

“Mungkin tidak ada tempat bagiku di hidup kamu sekarang ini. Bahkan aku begitu malu untuk mengatakan hal yang seharusnya lebih awal kukatakan. Dan mungkin saja kamu tidak pernah menginginkan hadirku kembali di hidupmu,” tutur Ibram sambil menarik nafas dalam, “mungkin terlambat mengatakannya. Bulan, aku mencintaimu. Tanpa syarat. Seharusnya aku berkata lebih awal rasa ini, seharusnya memang status kita akan bertahan hingga sekarang jika aku tidak sebejat itu dulu.”

Bulan membeku, dadanya bergemuruh di dalam sana. Rasa cintanya pada Ibram sudah lama hilang, Bulan sudah memastikannya. Namun kenapa di saat Ibram mengatakan kata cinta seperti ini, membuat jantungnya berdegup kencang? Rasa ini tidak mungkin kembali secepat ini.

“Aku tidak membutuhkan balasan. Aku hanya ingin mengatakannya agar tidak ada beban dan rasa bersalah lagi pada kamu. Maaf sudah membuat kamu terkejut di pertemuan pertama kita,” Ibram kembali berkata.

Bulan bangkit, menatap Ibram sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Ia hanya terkejut. Rasa ini bukanlah rasa yang telah lama musnah, melainkan rasa terkejut akibat pernyataan tiba-tiba lelaki ini. “Aku harus pulang. Dan ... malam ini keluargaku mengadakan acara kelulusan di rumah, Bunda juga ngundang Tante Khaira. Kamu bisa datang jika mau,” ucap Bulan sebelum benar-benar pergi.

Setelah langkah yang di ambil Bulan kian menjauh, kaki Ibram hanya mampu membeku di tempat. Tidak berani mengejar, atau menahannya untuk sekali lagi memastikan bahwa gadis itu tidak membalas perasaannya. Ini benar, Bulan tidak sama sekali salah karena telah mengabaikan perasannya. Ini karma baginya karena pernah menyia-nyiakan seseorang dalam hidupnya. Beginilah perasaan Bulan saat itu saat ia bersikap seakan gadis itu tidak ada di sisinya. Bahkan mungkin, rasa sakit ini tidak seberapa dengan rasa sakitnya Bulan saat ia mengabaikannya berulang kali.

Semuanya tidak bisa kembali seperti semula. Waktu berjalan, dan kehidupan berubah. Mungkin saya Bulan telah menemukan sosok pria baik di sekolahnya. Itu lebih baik, melihat gadis itu baik-baik saja seharusnya cukup bagi Ibram. Tapi kenapa ia serakah sekali ingin memiliki gadis itu?

—o0o—

Lihat selengkapnya