Two Different World

Zaafatm
Chapter #41

Epilog

Hari ini adalah hari keberangkatan Bulan ke Prancis untuk melanjutkan study-nya di salah satu universitas terbaik di sana. Barang-barangnya sudah di packing dari hari-hari lalu. Kini, yang Bulan persiapkan adalah dirinya sendiri untuk kembali pergi jauh dari kedua orang tuanya.

Kakaknya masih di Indonesia, dan akan kembali bersama-sama ke Prancis. Bunda harus ikhlas melepas kedua anaknya dalam sekaligus untuk pergi melanjutkan study mereka. Beliau tampak sedih di balik senyumnya yang tegar, hatinya rapuh di balik sifat kuatnya. Beliau adalah wanita terkuat yang Bulan kenal, wanita terbaik di dunia.

Ia akan kembali meninggalkan kehidupannya di Indonesia, dan belajar beradaptasi dengan lingkungan baru tempatnya tinggal. Mungkin akan jauh berbeda, tapi Bulan harus terbiasa. Ia akan tinggal lama di sana, sebelum mencari pekerjaan di dalam negeri. Sudah cukup beberapa tahunnya jauh dari keluarga, jangan lagi saat ia bekerja.

Bulan memang tidak terlalu ingin melanjutkan ke S2, cukup baginya mendapatkan pekerjaan dari lulusan S1, maka ia tidak akan melanjutkan kuliahnya lagi seperti kakaknya. Lagipula, wajar bagi sang kakak melanjutkan sekolahnya hingga tinggi, dokter bedah di Prancis itu harus punya pendidikan yang tinggi agar bisa mencapai pekerjaan yang lebih baik di bidangnya.

Bulan dan Adam akan berangkat siang hari, sekitar pukul dua. Mereka hanya ingin menghabiskan banyak waktu bersama keluarga, sebab nanti mereka akan jauh dari dua malaikat hidup mereka. Ayah dan bunda adalah orang tua yang sangat baik, mereka sungguh memberi kasih sayang tiada batas untuk anak-anaknya.

Maka dari itu, Bulan ingin sekolah tinggi dan bekerja dengan layak, agar bisa membahagiakan kedua orang tuanya di kemudian hari. Bulan ingin membalas jasa mereka—walau hanya seperempat dari jasa yang mereka berikan. Sebab jasa kedua orang tua itu tidak terhingga, tidak bisa di balas dengan apapun.

“Di sini ada obat pusing, demam sama pilek. Jangan lupa sering minum jamu ya, Nak. Lalu, pakai baju hangat biar nggak cepat sakit,” kata bunda sambil membawa satu tas kecil untuk sang anak. Raut khawatir dan cemas tertampang di wajahnya yang keibuan.

Bulan mengangguk kemudian memeluk ibunya dengan erat. Melihat betapa khawatirnya bunda membuatnya hendak menangis karena harus meninggalkan beliau kembali. “Bulan akan tetap sehat, Nda ... Bulan selalu pakai baju hangat, belajar yang rajin, sering minum jamu—kalau ada, pokoknya Bulan harus sehat agar Bunda nggak cemas.”

Bunda tersenyum sembari mengusap kepala sang putri begitu lembut penuh kasih sayang. “Maaf Bunda terlalu banyak omong, Nak,” kata bunda menyesal.

Menggeleng keras, Bulan menatap bunda dengan mata berkaca-kaca. “Bulan senang Bunda banyak bicara dan khawatirin Bulan seperti ini. Hanya beberapa tahun, Nda, setelah itu Bulan nggak akan kemana-mana.”

Kecupan hangat mendarat di kening Bulan dari wanita yang paling baik sedunia. “Istirahat yang cukup ya sayang, jangan terlalu berporsi belajarnya. Jika lelah, maka rehat. Jangan di paksa, Bunda bakal cus ke sana kalau dengar kamu sakit,” celoteh bunda masih terdengar cemas.

Bulan tertawa dan mengangguk. “Akan Bulan ingat pesan Bunda setiap saat. Oh iya, Bang Adam juga harus di pesani panjang lebar seperti ini, Nda. Dia nakal di sana.” Bulan menatap kakaknya yang duduk di seberang sofa sambil tertawa kecil.

“Adam nggak nakal. Udah dewasa gini, mana mungkin nakal kayak anak remaja,” dalih Adam santai.

Bunda beralih menatap sulung yang seharusnya sudah menikah ini. “Adam emang nggak nakal, tapi masih jomblo. Bunda pengen niman cucu loh, Nak. Udah tua Bunda ini, dan belum liat kamu nikah,” ucap bunda sedih.

Adam menghela nafas, tampak banyak beban pikiran. “Setelah Bulan dapat yang baik, baru Adam nikah, Nda. Kasian Bulan kalau Adam nikah, nanti nggak ada yang jagain lagi,” sahutnya. Bagi Adam, adiknya adalah prioritasnya saat ini. Adik perempuan satu-satunya itu harus ia jaga dengan hati-hati—agar kejadian yang lalu tidak terulang lagi. Adam tidak siap melihat kembali mata tanpa binar sang adik.

“Tapi Bang Adam juga harus pikiran masa depan Abang, dong. Bulan nggak papa, kasian juga Bunda,” Bulan menimpali omongan bunda. Rasanya tidak adil menjadi prioritas sang kakak padahal bunda juga perlu. Pun begitu dengan diri Adam sendiri, dia sudah sangat dewasa dan begitu cukup untuk menjalin sebuah hubungan rumah tangga.

“Iya, Lan ... akan Adam usahain cari yang pas dan ngenalin ke Bunda dan Ayah. Tunggu waktu yang pas aja dulu, Adam masih ingin sendiri dulu.”

Bunda menghela nafas, beginilah putranya. Di suruh menikah saja sulit sekali. Padahal untuk kebaikan sendiri. “Yasudah, Bunda tunggu kamu dapat yang pas. Semoga saja Allah segera memberi, supaya rumah ini ramai.”

Lihat selengkapnya