“Habis pulang kuliah, bergadang. Paginya molor sampai jam kuliah dekat. Kerasukan apa mama punya anak kayak kamu.” Omelan mama di pagi itu cukup menusuk gendang telingaku. Aku mengedipkan kedua mataku berulang kali di balik selimut ketika pintu kamar terbuka.
“Bangun! Ini sudah jam berapa, Angel,” perintah Mama lagi. Baiklah, aku sungguh harus berhenti pura-pura tidur. Sebelum berhasil menyingkap selimut sepenuhnya , Mama melemparkan satu bongkahan surat.
“Ma, aku kan udah bilang,” ujarku ketus sambil sibuk mengusap kedua mataku yang dipenuhi oleh kotoran mata.
Mama menghela nafas begitu panjang ketika tahu apa yang akan dikatakan oleh anak sulungnya.
“Bangun.” Lagi, Mama menghindar untuk mendengarkan ocehanku.
Sambil mengomel dalam hati, terpaksa aku beranjak dari tempat tidur sesaat. Aku melarikan mata ke arah bongkahan yang berada di atas tempat tidur. Kutarik secarik dari bongkahan itu, dan ternyata memang benar prasangkaku akan surat-surat itu.
Bandung, 11 Februari 2017
To : Angel
Ngel, aku benar-benar minta maaf ya. Hari itu aku ngga bisa nemuin kamu. Kamu kan tahu jadwal kuliahku itu padat banget. Aku juga pikir kamu cuma bercanda waktu itu. Maaf banget ya. Aku janji. Aku yang bakal ke Jakarta nanti untuk nemuin kamu. Jangan marah ya, Ngel. Aku sayang banget sama kamu.
Love, Samuel.
Sungguh gila jika aku memaafkan laki-laki ini lagi. Ya, Samuel itu pacarku. Sebulan yang lalu aku menyempatkan diriku untuk ke Bandung. Bertemu dengannya itu adalah hal yang paling mustahil setelah lima bulan kami menjalin hubungan. Kau tahu apa yang paling gila? Aku bertemu dengannya melalui Facebook. Oh Tuhan, andai aku tak pernah chatting dengan laki-laki ini hingga akhirnya aku menjadi perempuan bucin! Huhu.
Ah, lupakan saja. Aku harus bergegas bangun dan mandi. Jika tidak, aku harus mendengar omelan itu lagi. Sungguh hari yang memilukan untukku. Sebelum sempat berhasil membuka pintu, aku menyadari sosok yang kurindukan. Sam?
“Angel, pacarmu!” teriak Mama dari luar kamar.
Bagaimana ini? Aku panik. Detak jantungku berderup sekencang-kencangnya. Tempat tidurku menjadi korban terjangan tubuhku. Kuitari kamar tidurku berulang kali, berharap ini hanyalah mimpi. Karena kondisiku yang begitu sadis saat ini!
Dengan sigap, aku melompat dari tempat tidur kembali setelah meronta sejenak. Kuselesaikan kegiatan sikat gigi dan mandi dengan cepat. Saat tiba di hadapan cermin, aku mulai bingung. Bedak bayi, hanya itu yang bertengger manis di atas mejaku. Lupakan, aku adalah perempuan terbuluk saat ini.
“Hai,” sapaku sok manis setelah beranjak keluar dari sarang indahku.
Samuel, wajahnya sedikit terkejut. Ya, siapa yang akan begitu senang menemui pacarnya yang hanya mengenakan baju tidur dan rambut acak-acakkan, disertai dengan wajah yang begitu polos tanpa polesan apapun.
“Hai,” jawabnya singkat.
Hening. Keadaan menjadi begitu sunyi ketika mama meninggalkan kami berdua di ruang tamu.
“Kamu ngapain disini?” tanyaku tanpa basa-basi. Tunggu. Kutangkap wajahnya merona? Demi apapun, itu menjijikan.
Samuel menarik senyum di bibirnya dengan tulus, cukup membuatku ingin segera menangkup pipinya dan menarik keduanya dengan sangat kuat.
“Bayar hutang,”
Kekehanku cukup lantang untuk membuatnya tertawa.
“Iya, serius. Kamu marah kan karena waktu itu aku ngga temuin kamu?”
Aku menengok ke arah cicak di dinding, meleraikan isi hatiku untuk tidak berkutat saat ini di hadapannya. Mungkin hanya aku yang berani berbicara dengan santai seperti ini dengannya, di pertemuan pertama kami, dan di kediamanku.
“Ngel,” panggilnya pelan.
Aku mengangguk. “Aku ngga tahu harus mulai dari mana,” ucapku sambil masih membawa mataku berkeliling dengan cicak di hadapanku.
“Kita ngga pernah ketemu sebelumnya,”
Samuel seakan mengiyakan. “Udah lima bulan kita pacaran, Ngel,” tegasnya.
“Siapa yang bilang kita ngga pacaran?”
“Ya, maksud aku, aku pengen hubungan kita benar-benar serius.”
Oh, tidak. Skenario yang paling kubenci. Kehadiran Samuel memang hal yang sangat aku dambakan sebelumnya. Bohong jika aku mengatakan bahwa aku menginginkan hubungan ini menjadi seperti orang-orang di sekitarku. Tapi siapa yang akan percaya bila aku mengenalkan Samuel pada teman-temanku? Terlalu lucu untuk kuanggap sebagai pacar sungguhan.
“Makanya aku kesini, buat nyatain ini semua.”
Aku hampir terpesona dengan ucapannya. Tapi tunggu dulu. “Nyatain apa?”
Samuel menghela nafas panjang sebelum berhasil menarik pipiku. Alhasil, aku memukul tangannya dengan cepat, dibalas dengan tawanya.
“Apaan sih?” Aku mengelus pipi kiriku yang menjadi korban dari tangan jahilnya. “Sakit,” ucapku memelas.
Kulihat Samuel tetap hanyut dalam tawanya. “Kita jalan yuk,”
“Kemana?”
“Kamu bilang kamu pengen nonton ini, kan?” ucap Martin sambil memamerkan tiket nonton Beauty and The Beast.
Kutarik pipinya sebagai balasan, tetap mempertahankan wajahku yang jutek. “Ih, kamu ngga suka ya? Kok malah nyerang aku,” seru Samuel ketus.
“Oon deh,” Kukecup pipinya setelah berhasil beranjak dari tempat dudukku dan pemantuan ruang tamu yang kulakukan, takut mama sedang menjadi petugas keamanan.
Sunyi kembali. Samuel merona, begitu juga denganku.
“Ya udah, siap-siap gih,” pinta Samuel setelah meninggalkan kecanggungan kami.
Aku mengangguk sebagai jawabanku. Kularikan diriku kembali ke kamar, dan masih yang kutemukan hanya satu bedak bayi. Tak pernah terpikirkan hari ini akan datang. Maksudku, bertemu dengan Samuel rasanya mustahil. Aku sempat berharap hubungan ini kandas, karena aku mulai bosan dengan hubungan jarak jauh dan bahkan yang dimulai dengan pertemuan tabuh kami di media sosial. Kautahu, kadang hal yang belum pernah kita lihat secara nyata lebih menyenangkan. Seperti Samuel. Ia mahir dalam ketikan cinta, aku tak pernah berpikir ia akan- maksudku kami akan bertukar pandangan di sini, di rumahku.
Baik, kau harus belajar cara berdandan, Angel. Memalukan untuk membawamu ke bioskop dengan wujud seperti ini.
***
“Kamu mau makan apa?” tanya Samuel, sesampainya kami di Pondok Indah Mall.
“Ayam goreng,” jawabku singkat. Sedari tadi, aku sibuk mengitari berbagai poster film yang tayang hari ini.
Tanpa sadar, aku baru melihat tangan kami bersatu begitu erat. Entah sejak kapan aku menangkap tangannya atau dia yang terlebih dulu menawarkan. Tak akan ada yang bisa menandingi detak jantung ini, berpacaran ternyata itu menyenangkan. Jangan tertawa. Samuel memanglah pacar pertamaku. Terimakasih, Facebook.
Aku dan Samuel memutuskan untuk menikmati KFC sebelum masuk ke dalam ruang teater. Kuharap hal ini tidak akan memalukan untuk dipamerkan. Kelaparan itulah ungkapan yang tepat untuk mendeskripsikan cara makanku.