Jam dinding baru memamerkan angka setengah lima dan aku tak sanggup untuk melanjutkan mimpi kopongku. Kamar mandi menjadi tempat pertama yang kudatangi sebelum berlari ke arah cermin. Bedak bayi, masih setia di atas mejaku. Sungguh hal yang harus dipertimbangkan ribuan kali jika aku benar-benar ingin melakukannya.
Singkat cerita. Setelah malam peperangan dengan papa berakhir, aku menghabiskan waktuku menangis dan mengunci pintu kamarku hingga malam hari. Untungnya saat itu hari Minggu, jadi aku tidak perlu terburu-buru untuk ke kampus. Kencan keduaku bahkan batal hanya karena aku malu untuk menemuinya. Ayolah, perempuan mana yang akan tetap berdiri tegak seperti ini jika bukan aku orangnya.
Aku bukanlah tipe orang yang bisa bangun pagi dengan begitu mudahnya. Kebiasaan bangun pagi telah aku tinggalkan sejak aku lulus SMA. Kupikir hal itu tak perlu aku tekuni terus menerus mengingat diriku yang tak punya pekerjaan saat ini dan hanya berkutat dengan tugas kuliah.
Bodoh bukanlah hal yang tepat untuk kujadikan nama panggilan, tapi papa memanggilku begitu dengan mudahnya. Tidak ada satu anak pun di dunia ini yang ingin dilahirkan sebagai anak yang bodoh, tergantung cara orangtua mendidik. Itu yang selalu kupercaya hingga hari ini.
Sejujurnya, tidak sepenuhnya aku tidur hari itu. Diki menjadi tempat pelampiasanku, secara positif. Aku teringat tawaran yang cukup memaksa darinya untuk bekerja di perusahaan tempat ia bekerja selama tiga tahun ini. Aku memutuskan untuk mengambil kesempatan itu demi membuktikan bahwa diriku adalah manusia yang berguna.
Namun sekarang aku bingung dengan kondisiku yang begitu berantakan dan entah harus melakukan apa, kesempatan itu mungkin akan melayang begitu saja.
Kualihkan pikiran dunguku tentang apa yang akan terjadi nanti ketika kulihat nama Samuel muncul di layar ponselku.
Selamat pagi, malaikatku. Semangat ya hari ini. Jangan ngurung diri terlalu lama. Aku kangen. Kita harus ketemu ya hari ini. I love you.
Kurasa sarapan tidak diperlukan lagi ketika pacar manisku mengirimkan beberapa kalimat penyemangat yang dibumbuhi dengan gombalan. Aw, sweet!
Ya, aku harus bertemu dengan Samuel hari ini. Ini akan menjadi kencan kedua kami dan aku tak ingin melewatkannya lagi. Sungguh sangat disayangkan jika tiba-tiba ia harus kembali ke kota hujan itu lagi dan meninggalkanku di sini.
“Kamu udah makan?”
“Please deh, kamu selalu nanyain soal makan.” Seakan tak ada yang bisa ia katakan lagi padaku, hal yang selalu menjadi pembuka percakapan kami yaitu “makanan”.
Samuel memberi isyarat seakan ingin mencubitku, membuatku cukup sebal akan hal itu.
“Kalau kamu bisa makan, itu artinya kamu baik-baik aja,” ujar Samuel singkat dan selalu itu yang ia lakukan, tersenyum. Sejak pertama kali aku melihatnya, aku menjadi lebih bersemangat untuk menjalani hari-hariku yang penuh drama.
“Good luck ya hari ini, Ngel. Aku selalu doain kamu.”
“Makasih, sayang.”
Dan pagi itu percakapan kami melalui videocall berakhir.
***
Ingat ya, cukup bilang Diki yang bawa lo kesini. Itu aja. Bos pasti langsung nerima.
“Sekarang kamu belajar di Universitas yang sama dengan Diki, kan?” tanya wanita separuh baya yang kerap di sapa Bu Rini di hadapanku, tanpa memandangku. Sedari tadi, aku melihatnya sibuk dengan dokumen yang kubawa.
“Iya, Bu,” jawabku singkat. Ini adalah interview pertamaku. Akan lebih baik jika aku mengandalkan diamku untuk situasi ini.
Ia mengangguk, entah apa arti dari anggukannya itu. Aku juga tak ingin menerka terlalu jauh untuk itu.
“Oke, saya terima kamu kerja di sini. Asal jangan sampai kesalahan dari kepala administrasi yang lama, terulang lagi di kamu,” pinta Bu Rini. Oh, ternyata resign karena kesalahan. Dan Diki tak menceritakannya.
Cukup membuatku terbakar oleh ide yang entah hilangnya kemana, kusampaikan terimakasih pada Diki setelah selesai menyantap sarapan yang dibuat oleh mama. Mama tampak senang ketika aku mengatakan bahwa aku bekerja mulai hari ini. Interview bukanlah pilihan yang tepat untuk orangtuaku. Mereka akan kecewa berkali-kali lipat jika aku gagal diterima.
Pagi ini aku berdandan seadanya. Dengan bedak bayi dan lipgloss yang kupinta dari adikku, yang dibalas dengan tatapan tidak ikhlas. Kupinjam blazer milik tetanggaku. Cukup kebesaran untuk tubuhku yang chubby.
“Gue yakin lo bisa jadi orang yang berguna setelah kerja di sini.” Konyol, Diki tidak cukup menghiburku dengan kata-kata itu. Lebih menekan ke penghinaan terselubung.
Aku mengiyakan. “Ya, setidaknya mulut gue ngga berkoar-koar doang,” sindirku.
Diki tertawa. “Lo masih ngga ikhlas?”
“Ikhlas?”
“Namanya juga manusia. Pasti ada lah sisi antagonisnya,” ujar Diki sambil memandang ke arahku dengan tatapan sayu.
“Eh ngga usah liatin gue kayak gitu juga kali.” Kini aku mulai salah tingkah.
Ingat, lo punya Samuel.
Percakapan itu berlangsung beberapa saat sebelum kembali ke rutinitas baruku. Jujur, ini adalah pekerjaan pertamaku. Setidaknya secara resmi.
Tahun lalu, Ros pernah membawaku ke perusahaan tempat ia bekerja. Bosnya berjanji akan membuatku bertahan ketika karyawan yang lama berhenti bekerja di sana. Tapi yang kudapat adalah pemberhentian secara tidak layak dan sang bos menggulung gajiku selama lima hari bekerja dengan seuntai karet gelang. Luar biasa, bukan? Berhenti menanyakan keadaanku saat itu, aku benar-benar hancur.
Kemudian pekerjaan keduaku. Maksudku percobaan keduaku untuk bekerja. Hampir saja aku bertahan di sana. Namun ternyata mengurus bon dokter itu tidak menyenangkan, membuatku hampir terkena tumor dadakan. Aku harus bisa memisahkan gaji sang dokter dan biaya-biaya yang berkaitan dengan medis. Ya, aku menjalani magang di rumah sakit. Tak perlu kusebut dimana, karena akan ada pihak yang dirugikan jika aku mengatakannya. Tentu saja, hal ini masih berkaitan dengan Diki. Sudah kukatakan, Diki itu spesial. Ia memiliki segalanya. Kau bisa mengaitkan hal ini dengan Diki sesuai perspektifmu. Aku tak akan melarang.