Eyi melangkah pasti ditemani tumpukan makalah yang sudah dia kerjakan semalam suntuk. Langkah yang sengaja dia percepat untuk segera sampai di ruangan dosen tiba-tiba terhenti saat dia mendengar nama Rey disebut-sebut dalam kerumunan mahasiswi baru yang juga satu angkatan dengannya. Sekilas lewat, dia mendengar mereka menyebut “cowok feminin” dan “Rey”. Apa mereka semua mengatakan kalau Rey itu cowok feminin? Benaknya gusar. Eyi melangkah mendekati kerumunan gadis yang masih dengan lancarnya membicarakan Rey. Latar belakang Rey, hingga terdengar sebuah kalimat yang membuat dadanya semakin sesak.
“Lagian, kebanyakan cowok yang kayak gitu emang ‘belok’, kan?”
Seketika Eyi menghentikan langkahnya. Rasanya ingin sekali ia mencabik mulut-mulut sok tahu yang terus-menerus berbicara omong kosong yang justru merusak nama baik Rey di mata semua orang. Tahu apa mereka soal Rey, batin Eyi. Dia mencoba meredam kemarahan. Kali ini, dia sudah tidak bisa menahan kemarahannya walaupun baru saja dia mencoba untuk meredamnya, tetap tidak bisa jika bersangkutan dengan Rey. Langkahnya terus menuju pada segerombolan wanita yang masih sibuk membicarakan Rey. Batin Eyi seakan disayat sembilu.
Baru saja dia akan buka suara untuk menghentikan pembicaraan omong kosong yang membuat hatinya terasa sesak. Tiba-tiba, mereka yang tadinya masih berbicara langsung terdiam. Entah karena melihat Eyi yang terlihat menahan kemarahannya entah ....
Seseorang tiba-tiba muncul di belakang Eyi. Mereka, yang tadinya banyak bicara langsung hening, seperti tak terjadi apa-apa. Seperti tak berbicara apa pun sejak tadi. Padahal, kata-kata mereka untuk menilai seseorang sudah melewati batas. Hanya dengan opini yang mereka buat sendiri sudah berhasil merusak nama baik seseorang, yang di mata Eyi adalah seorang laki-laki yang baik.
“Mau ke mana? Pasti mencariku,” gurau Rey yang berada tidak jauh dari tempat Eyi berdiri.
Jelas, kehadiran Rey membuat Eyi tekejut. Jadi, karena ada Rey mereka semua terdiam. Dasar, ular berkepala dua.
“Eyi, ayo,” lanjut Rey yang dibalas dengan sebuah anggukan. “Kenapa tidak mencariku di taman?” tanya Rey kemudian tanpa melihat ke arah orang yang diberi pertanyaan.
Tak ada jawaban dari pertanyaan Rey. Eyi terus mengikuti langkah besar Rey dari belakang. Pertanyaan Rey, bahkan hanya seperti angin lalu. Segala macam pikiran kini berkecamuk. Apa Rey sempat mendengar apa yang dibicarakan mereka tentangnya. Dia khawatir, Rey berusaha menutupi semuanya. Dia berpura-pura tak ada masalah, padahal menjadikan semuanya beban karena sejak dahulu Rey selalu seperti itu. Berpura-pura selalu bahagia. Seakan hidupnya adalah yang paling sempurna. Padahal, Eyi selalu bersedia mendengarkan, memberi saran, atau sekadar berbagi masalah. Karena dia tahu betul betapa tidak nyamannya menyimpan suatu masalah sendirian. Bahkan, jika memang perlu dia selalu menyiapkan bahunya atau bahkan pelukannya untuk sekadar merasakan apa yang Rey rasakan.
Brukkk ....
“Kenapa berhenti?” tanya Eyi yang tak sengaja menabrak tubuh Rey dari belakang.
“Sengaja. Ternyata benar dari tadi kamu melamun. Sampai aku bertanya pun tidak kamu jawab?” kesal Rey yang kini telah berbalik menghadap Eyi yang masih tertunduk dengan segala upayanya untuk menyembunyikan raut wajah sedih dari Rey.
“Ada apa?” tanya pria betubuh kurus itu sekali lagi. Dia sedikit menunduk untuk melihat raut wajah yang Eyi sembunyikan. Kini jarak antara wajah mereka hanya beberapa sentimeter. Eyi mengangkat kepalanya dan menghela napas, jengah. Tak sadar, apa yang dilakukannya tadi malah membuat jarak antara wajah mereka menjadi semakin dekat.
“A ... a ... aku mau mengantar tugas makalah dulu,” ujar Eyi kikuk. Karena jarak di antara mereka menjadi sedekat itu, beberapa detik mereka terdiam, hanya lewat tatapan, keduanya menjadi kikuk. Eyi membalikkan badannya dan melangkah pergi ke ruangan dosen, sedangkan Rey tanpa banyak bicara masih sibuk menatap punggung Eyi hingga tak terlihat lagi dalam pandangannya.
YYY
Eyi mendengus. Dia melipat tangannya di dada dan bersandar pada kursi yang tersedia di kantin kampus. “Huaaa ... hari ini cuacanya panas.”
“Tumben, nggak sama Rey?” tanya Kania yang mendelik ke arahnya.
“Aku haus, makanya pergi ke kantin,” jawab Eyi sambil tersenyum kaku.
Dia tak habis pikir kenapa banyak orang yang berbicara hal-hal aneh tentang Rey. Terlebih lagi, hal itu tidak masuk akal untuk Eyi yang sudah mengenal Rey bertahun-tahun lamanya. Atau, hanya dia yang menganggap Rey itu seorang laki-laki. Tapi, jika dipikir lagi, Rey memang seorang laki-laki, hanya saja sifatnya yang seperti perempuan. Bahkan, Rey selalu memahami kondisi Eyi pada saat apa pun. Hal itu yang membuatnya tak bisa lepas dari sosok Rey hingga bertahun-tahun lamanya. Perasaan nyaman yang tak bisa dia temukan pada sosok laki-laki kebanyakan.
“Kalian itu pacaran, Yi?” tanya Kania penasaran. Dia bahkan memasang wajah curiga pada wanita di hadapannya.