Eyi mematut dirinya yang terpantul di depan cermin kecil yang tergantung di dinding kamarnya. Beberapa kali dia mencoba menata rambutnya agar membuatnya terlihat menarik. Dia juga berlatih berbicara agar setiap perhatian yang dia berikan kepada Rey terlihat meyakinkan. Sambil melakukan hal tersebut, tangannya sesekali menyapu wajahnya dengan bedak tipis. Dan, diakhiri dengan lip gloss yang sewarna dengan bibirnya. Hari ini, dia bangun lebih pagi dari biasanya. Menyiapkan penampilannya agar terlihat berbeda dari hari-hari sebelumnya hingga membuatkan kotak makan siang untuk Rey. Dan, tidak lupa, dia mengirimkan pesan singkat kepada Rey yang isinya hanya sepenggal kalimat “selamat pagi” dan kata-kata penyemangat untuk hari ini.
Rey hanya punya waktu satu jam untuk istirahat makan siang. Karena dia harus lanjut latihan pementasan teater. Itu sebabnya Eyi menyiapkan makan siang agar Rey tidak perlu memesan makanan di kantin kampus yang pasti hanya membuang waktu istirahatnya yang begitu singkat karena harus mengantre dengan yang lain. Eyi mengamati dirinya sekali lagi pada cermin. “Baiklah, aku akan lakukan yang terbaik untuk Rey,” tangannya terkepal di udara saat kata semangat dia ucapkan.
YYY
Eyi mengembuskan napas, kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi taman, tempat biasanya dia dan Rey bertemu. Kali ini, dia mulai gelisah sudah lewat dari sepuluh menit dari waktu yang mereka janjikan. Sesekali pandangannya jatuh pada dedaunan kering di samping kanan dan kirinya akibat hujan yang sudah lama tidak mengguyur kotanya. Dari kejauhan, tampak seseorang yang tergesa dengan napas terengah-engah mulai mendekat ke arahnya. Tak salah lagi, jika laki-laki itu adalah Rey. Orang yang sedang dia tunggu.
“Sudah lama?” tanya Rey yang disertai dengan senyum menawan dari bibir tipisnya.
Eyi tertegun, tak sadar kalau sekarang Rey sudah berada di hadapannya. “Apa kamu marah? Karena aku telat sepuluh menit dari waktu yang kita janjikan?”
Tanpa memedulikan pertanyaan dari Rey, dia mengeluarkan kotak makan siang dari dalam tasnya. “Makanlah! Jangan banyak tanya lagi. Nanti jam istirahatmu berkurang, Rey,” pinta Eyi sambil membuka tutup kotak makan siang berwarna merah muda miliknya.
Rey mengernyitkan dahi, kemudian bertanya lagi, “Kamu buatin omelet sayur buat aku. Huaaa, aku jadi baper, Yi,” ucap Rey tak jelas karena mulutnya dipenuhi dengan makanan kesukaannya itu.
“Ishhh, kebetulan aja, kok, Rey. Di rumah lagi banyak persediaan telur. Jadinya ingat aja kalau kamu suka omelet sayur. Ya udah, aku buatin,” sahut Eyi dengan wajah malu-malu.
“Huaaa, andai saja suatu saat nanti aku punya pacar kayak kamu, Yi?” Kalimat itu membuat jantung Eyi serasa ingin melompat dari tempatnya.
Ayolah, Rey, tolong katakan, “Andai saja kamu mau jadi pacarku”, maka aku tidak perlu melanjutkan empat langkah yang belum kulakukan, batin Eyi.
Rey tersenyum lebar, kemudian menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. “Terima kasih makanannya, sering-sering kayak gini, Yi,” ucap Rey sambil sekilas melihat ke arah Eyi yang sibuk mengemasi kotak makan siang yang sudah kosong tanpa sisa. Sekali lagi Rey melihat ke arah Eyi untuk memastikan apa yang dilihatnya. Ada yang berubah dari Eyi, penampilannya yang lebih girly dari biasanya, dan rambut kucir kudanya yang saat ini tergerai sebahu. Rey menahan senyum, dugaannya saat ini Eyi sedang menyukai seseorang yang dia tidak tahu-menahu siapa laki-laki itu.
“Siapa orang yang bisa membuatmu berubah kayak gini, Yi? Kamu suka seseorang kenapa nggak bilang-bilang aku?” Pertanyaan Rey sukses membuat Eyi terkejut.
Dia balas menatap Rey dengan penuh tanya. Mengapa harus Rey bertanya seperti itu, jika orang yang membuatnya berubah adalah orang yang memberinya pertanyaan, benaknya.
“Kalau memang ada seseorang yang aku suka, memangnya kenapa?” tanya Eyi. Matanya menatap penuh harap.
“Tentu aku akan marah!”