Aku tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama. Terdengar terlalu dramatis. Terlalu naif. Terlalu klise.
Sampai aku menatap matanya untuk pertama kali—dan dunia benar-benar jadi hening. Bukan karena dia bicara manis, atau menatapku seperti di film-film. Justru sebaliknya.
Ia menatapku dingin. Berjarak. Tegas.
Tapi ada sesuatu di sana sesuatu yang menabrak keras di dalam dada. Sesuatu yang membuatku lupa bahwa aku bahkan baru mengenalnya detik itu.
Hari itu, Raka—tunanganku—mengajakku bertemu dengan temannya di sebuah restoran di tengah kota. "Teman kuliah, yang sudah lama enggak ketemu,” katanya, sambil menggenggam tanganku sepanjang jalan ke sana.
Aku mengangguk saja. Raka memang tipe pria yang hangat. Selalu punya cara membuat hal-hal sederhana terasa cukup.
Bagiku, Raka pria yang menyenangkan—secara kasat mata dan secara sikap. Tingginya pas, posturnya rapi, dengan wajah bersih dan senyum yang mudah disukai. Gayanya kasual tapi terawat, seperti seseorang yang tahu cara tampil menarik tanpa terlihat berusaha.
Matanya jernih, tatapannya tenang.
Tipe pria yang dengan mudah disukai orang tua dan jadi favorit dalam lingkaran pertemanan.
Dan sampai detik itu, aku pikir bersamanya adalah keputusan paling masuk akal.
Sampai aku bertemu Aksar.
“Kenalin, Mas,” suara Raka terdengar ringan, tapi penuh kebanggaan. “Tunanganku, Lara.”
Aku tersenyum, sedikit gugup, tapi mencoba terlihat tenang. “Hai,” sapaku, mengulurkan tangan. “Aku Lara. Tunangan Mas Raka.”