“Mut, bos baru bakal datang hari ini,” ucap Jun setelah berhasil menarik tubuh Muthia ke sudut ruangan administrasi kantor.
Muthia baru saja habis melakukan absen sidik jari ketika lengannya disambar dari belakang oleh Juni Adhisti, sahabatnya sekaligus data entry kantornya.
Muthia bekerja pada sebuah leasing multifinance nasional. Kantor pusatnya tentu saja berada di Jakarta, sedang kantor yang ditempati saat ini hanya kantor cabang yang berada di kota Berau, Kalimantan Timur. Sebuah kota yang mengalami perkembangan cepat dengan kekayaan alam begitu luas. Kantornya melayani kredit multiguna yang membiayai pembelian melalui kredit untuk produk elektronik, motor dan mobil. Dia hanya seorang marketing lapangan elektronik yang selalu disibukkan dengan mencari konsumen dan dikejar target tiap bulannya. Terkadang membuat stress jika target bulanan tidak terpenuhi, tapi dia mencintai pekerjaannya sebagai seorang marketing.
“Tua, orangnya?” tanya Muthia cuek. “Aku nggak ikut nyambut, mau tiduran aja di rumah. Lagi malas cari konsumen hari ini.”
Jun mendorong kepala Muthia dengan jari telunjuknya. “Semua karyawan mesti nyambut bos baru, tau! Hargai dikit bos baru kamu,” tukas Jun. cemberut. “Orangnya masih muda. Paling beda dua tahun dari kita.”
“Beruntung ya dia, masih muda sudah menduduki jabatan BM.” Muthia berjalan pelan. Jun berusaha untuk mengikutinya di samping. “Aku saja sudah 5 tahun kerja di sini, jabatan belum naik-naik.”
Jun menarik rambut Muthia yang hari ini sengaja diikatnya ekor kuda. Rambutnya lurus dengan warna dark brown hingga ke punggungnya. “Kamu aja yang nggak mau naik jabatan, dodol!”
Muthia nyengir. Dia memang tidak menyukai bekerja di kantor. Baginya bekerja di lapangan akan lebih membuatnya bebas tanpa ikatan waktu. Hanya turun pagi hari, ikut briefing, keluar kantor mencari konsumen atau duduk di dealer atau bisa juga dia hanya menghabiskan waktunya di rumah dan tiduran. Sore hari kembali lagi ke kantor dan absen pulang. Baginya itu pekerjaan yang menyenangkan.
Lagipula, menjadi marketing memberikannya kesempatan bertemu banyak orang. Mengenal orang-orang baru. Punya banyak kenalan. Dan tentu saja, mungkin bagi sebagian orang pekerjaan marketing terlihat rendah, tapi dia menghasilkan lebih banyak pendapatan ketika bekerja di bidang ini. Setiap transaksi yang terjadi, dia bisa mendapatkan uang tambahan seratus ribu, sehari saja dia kadang dapat melakukan transaksi minimal 3-5 orang. Kalikan saja sendiri berapa perbulannya. Itu masih diluar gaji, bonus dan tunjangan lain, belum lagi traktiran konsumen atau dealer-dealer …. Jadi, sebaiknya berpikir ulang jika menganggap sebelah mata pekerjaan marketing itu.
Langkah Muthia terus melaju menuju ke arah pantry. Dia membutuhkan segelas teh hangat. Tidak, dia tidak suka memulai harinya dengan segelas kopi seperti yang lain. Teh dan aromanya di pagi hari lebih menenangkan baginya.
“Kamu mau teh?” tanya Muthia pada Juni yang sudah duduk di kursi dengan menopangkan tangannya ke meja kayu yang berada di tengah-tengah ruangan pantry. Ada lima kursi kosong lain di sana yang mengelilingi meja.
“Boleh.” Suara yang menyahut berat dan agak serak. Bukan suara Juni. Karena suara itu terdengar seksi menggelitik telinganya.
Seorang lelaki muncul di ambang pintu. Dia tersenyum lebar menatap lurus ke arah Muthia. Tubuhnya tinggi, atletis dan proporsional. Mungkin sekitar 182 cm. Dari kemeja hitamnya yang tergosok rapi dan lengan baju yang tergulung hingga ke siku, otot-otot lengannya begitu kekar. Padat dan berisi. Bahkan kain yang membungkus lengan itu begitu pasrah dan mengikuti setiap lekukan ototnya. Belum lagi kemeja slim fit yang membungkus tubuhnya, dada bidangnya terlihat menyembul pas. Membuat jemari tidak tahan untuk menyentuh dan merabanya. Perutnya pasti six pack, entahlah tapi yang pasti datar. Tak ada lekukan cembung di bagian pinggangnya. Bahkan seperti tak ada lemak yang menempel yang mengganggu keindahan tubuhnya. Pinggangnya juga langsing, begitu menggoda untuk melingkarkan lengan di sana.
“Maaf …” Mata Muthia memicing menyelidik.
“Boleh aku mendapatkan teh hangat juga?” ulang lelaki itu. Sekarang dia sudah duduk di samping Juni.
Mata Muthia masih melihat lelaki itu duduk miring dengan menyilangkan kaki kanan di atas paha kirinya. Betisnya terlihat lebih panjang.
“Aku Angkasa …” Muthia mendengar suara itu berbicara. Sepertinya dia berbicara dengan Juni. Karena saat ini dia sudah membalikan tubuhnya untuk mengambil gelas baru. Entah apa yang membuatnya menurut saja, mungkin karena hari ini dia sedang tidak memiliki mood untuk protes.