Cinta tak selalu hadir dari pertemuan yang megah, justru ia hadir dari pertemuan yang paling sederhana. Ia terbentuk dari serpihan-serpihan kecil—dari senyum tipis yang terbingkai saat berpapasan, dari sepasang mata yang tak pernah luput menangkap detail kecil, dari tawa renyah yang menyelinap di antara seriusnya percakapan dan dari sorot mata teduh yang seolah sanggup menghentikan putaran waktu.
Mulanya, sosok itu hanyalah bayangan tak terpandang, seseorang yang tak berarti di tengah riuh rendah keramaian. Entah bagaimana caranya, sosok itu berhasil menyusup, meruntuhkan dinding pertahanan hati Hana. Ia menyelinap ke ruang-ruang terdalam dada, dan di sana, membangun istana perasaan yang tak pernah diundang, mengukir janji tanpa kata dalam setiap degup jantung Hana. Perlahan, kehadirannya bersemi menjadi kebiasaan, kemudian menjelma menjadi kenyamanan, dan akhirnya tumbuh menjadi sesuatu yang jauh lebih besar.
Ia tak pernah menjanjikan hal-hal muluk. Hanya bahu yang siap menjadi sandaran, serta telinga yang selalu sedia mendengar. Dalam kesederhanaan itulah, ia menjadi istimewa—menjadi dermaga di tengah dinginnya kota Seoul yang asing, dan menjadi satu-satunya manusia yang mampu merobohkan setiap tembok yang selama ini Hana bangun.
Di bibir Pantai Jeongdongjin, di kota Gangneung, malam ini semesta seolah ikut membeku. Hanya gemuruh ombak yang memecah sunyi. Angin laut yang menusuk mendadak terasa tak berarti.