Keheningan yang begitu sunyi masih menyelimuti rumah, seolah fajar belum sepenuhnya menyentuh kota Seoul. Meski alarm di ponsel belum berbunyi, Hana sudah terbangun dan segera bergerak hati-hati, meraih ponselnya untuk mematikan denting alarm agar tidak membangunkan si kembar. Kemudian, ia menyibak selimut dan melangkah keluar kamar. Dinginnya lantai langsung menusuk telapak kaki telanjangnya saat ia melangkah perlahan menuju dapur.
Pagi ini, Hana menyiapkan sarapan sederhana yang bergizi—nasi goreng kimchi dan omelet hangat yang lembut. Tanpa membuang waktu, sambil menunggu nasi matang, ia mulai mengiris kimchi, bawang, dan sayuran lain dengan cekatan. Asap tipis segera mengepul dari wajan, membawa aroma kimchi pedas dan gurih yang menusuk hidung.
Saat tangannya bergerak lincah membentuk irisan rapi di atas talenan, pikirannya sudah melayang jauh pada jadwal hari ini—sesi konseling di gedung TigerLab. Sebagai psikolog klinis, ia bertanggung jawab menjaga kesehatan mental aktor, idol, dan trainee di industri hiburan Korea yang bekerja sama dengannya. Pekerjaan ini sangat penting di Korea Selatan, negara yang dikenal memiliki angka bunuh diri tertinggi di dunia.
“Mama! Wanginya enak!” seru Haejun dengan suara kecil dalam Bahasa Korea, membelah udara pagi.
Haejun, sang putra, berdiri di ambang pintu dapur. Langkahnya masih gontai, ia mengucek-ucek mata mungilnya seolah sedang berusaha mengusir sisa-sisa mimpi. Di belakangnya, Jiyoon, kembarannya, mengekor dengan rambut cokelat tua yang masih kusut—sebuah gambaran yang lucu dan menggemaskan di mata Hana.
Hana yang sedang menata makanan di atas meja marmer, segera menoleh dan tersenyum lembut. “Anak-anak Mama sudah bangun? Cepat cuci muka dan gosok gigi dulu. Sarapan spesial sudah menunggu,” ajak Hana.
Setelah selesai sarapan, Hana beralih membantu kedua anaknya bersiap. Dengan telaten, ia menyisir rambut Jiyoon yang panjang, mengikatnya menjadi dua kucir kuda. Di saat yang sama, Haejun sudah siap dengan seragam dan ransel terpasang rapi di punggungnya.
“Mama, hari ini jemput kita, ‘kan?” Tanya Haejun, suaranya penuh harap.
Hana berpikir sejenak, lalu membungkuk dan tersenyum lembut. “Mama belum bisa janji, Sayang. Jadwal Mama hari ini padat, belum tahu selesainya jam berapa.” Ia mengelus pipi keduanya. “Kalau Mama masih sempat, pasti Mama jemput. Tapi kalau tidak, Tante Miyeon yang akan menjemput kalian. Tidak apa-apa, ya?”
Haejun dan Jiyoon mengangguk setuju.
Pukul setengah sepuluh pagi, mobil Hana melaju pelan, mengantar Haejun dan Jiyoon ke sekolah kanak-kanak yang lokasinya tak jauh dari rumah. Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan gerbang yang sudah ramai. Hana, Haejun, dan Jiyoon turun. Si kembar mencium punggung tangan Hana sebelum berlari kecil menuju kelas mereka.