Harmony Psychology berdiri tegak di jantung kota Seoul, sebuah pusat ketenangan di tengah hiruk pikuk kehidupan pekerja yang serba cepat. Bangunan tiga lantainya adalah perpaduan yang indah antara beton modern bertekstur dan dinding berkilauan dari kaca dan baja. Sebuah tangga lurus membentang tinggi di luar gedung—suatu elemen yang Hana desain untuk menarik pusat perhatian para pengunjung, dan tangga tersebut menghubungkannya dengan tempat parkir mewah di bawahnya.
Park Hana menapaki tangga itu dengan langkah tegas. Ketegasan tersebut berpadu kontras dengan kehangatan senyumnya, yang memancarkan kelembutan.
Di balik ketenangannya, ia adalah fondasi yang menopang ketahanan bagi agensi di industri hiburan Korea. Sebagai psikolog klinis, ia adalah seseorang yang di percaya untuk menangani luka-luka tergelap yang diderita oleh mereka yang bersinar: trainee, idol K-pop, dan aktor papan atas di Korea.
Saat pintu kaca otomatis terbuka, Hana disambut oleh aroma terapi sandalwood dan lavender yang membuai lembut dan menenangkan. Lobi itu di dominasi oleh lantai marmer yang berwarna putih dan desain interior yang minimalis mengusung warna krem dan putih yang senada dengan lantainya. Lalu, meja resepsionis yang panjang berwarna keemasan dengan tulisan “Harmony Psychology” di depannya.
Hana menyusuri lorong yang sunyi menuju ruang kerjanya. Ia berpapasan dengan rekan-rekannya—resepsionis yang menyapanya dengan ramah, para psikolog yang bersiap untuk sesi konseling dengan kliennya, dan staf administrasi yang sibuk dengan berkas yang menimpuk di atas meja kerjanya.
Setiap mereka melihat Hana, mereka menyapanya dengan hormat dan Hana membalas sapaan mereka dengan sedikit membungkukkan badannya dan tidak lupa dengan tatapan yang hangat nan lembut.
Tiba di depan pintu ruangannya, Hana berhenti sejenak. Tangannya menyentuh kenop pintu yang dingin. Ia mengulas senyum bersiap menghadapi hari di mana ia adalah jembatan bagi mereka yang kelelahan, baik itu para idol, trainee ataupun aktor, untuk membantu mereka menemukan kembali harmoni di tengah badai popularitas yang mereka bangun.
Ia duduk di depan komputernya, wajahnya menunjukkan konsentrasi penuh. Tumpukan berkas dan buku-buku psikologi yang tertata rapi menjadi cermin keseriusannya. Jari-jarinya mengetik dengan terampil dan matanya menelusuri data-data kompleks tentang kesehatan mental para kliennya. Di ruangan hening itu, hanya terdengar ketukan keyboard yang berirama cepat dan gumaman pelan Hana yang berbisik.
BRAK!
Keheningan kantor seketika pecah. Pintu ruangan Hana didorong keras hingga terbuka lebar, diikuti teriakan yang nyaring.
“Hanaaaaa!”
Hana terperanjat, tatapannya beralih sekilas dari layar ke arah pintu.
Di ambang pintu, terlihat seorang wanita yang mengenakan blazer dan celana palazzo berwarna navy yang senada. Wanita itu tersenyum lebar tanpa ada raut wajah bersalah sedikit pun. Melihat hal itu, ekspresi kesal segera terpancar di wajah Hana.