Udara pagi yang tenang dan sejuk menyambut kedatangan Hana bersama kedua permata hatinya, Haejun dan Jiyoon. Di tengah bentangan alam nan menakjubkan di Donggang Riverview Campground, Gangwon-do, mereka menemukan surga kecil untuk rutinitas akhir pekan mereka. Di kejauhan, pemandangan sungai yang mengalir tenang, pegunungan yang terlihat kokoh, dan lembah yang hijau. Semuanya seolah, menyambut mereka dengan yang begitu hangat.
Tanpa membuang waktu, si kembar langsung membantu Hana mengeluarkan barang-barang dengan tawa riang. Jiyoon, dengan jaket merah cerah dan sepatu bot kecilnya, melonjak gembira dan sudah tak sabar mulai mencari ranting-ranting kering. Sementara Haejun, yang mengenakan topi bisbol, berusaha keras membawa tas ranselnya yang hampir seukuran tubuhnya. Hana tertawa kecil, lantas menggelengkan kepala melihat tingkah putranya, sebuah pemandangan sederhana yang selalu menghangatkan hatinya.
“Haejun, pasang pasak ini! Jiyoon, bantu Mama bentangkan terpalnya!” seru Hana, dengan cepat mengubah kegiatan mendirikan tenda menjadi sebuah permainan seru. Meskipun prosesnya memakan waktu lebih lama, bagi Hana itu adalah momen berharga. Haejun, dengan senyum bangga, berhasil menancapkan pasak pertama, sementara Jiyoon tergelincir di atas terpal dan berakhir dengan semburan tawa renyah.
Setelah tenda berdiri kokoh, mereka melakukan penjelajahan di sekitar perkemahan. Mereka bergegas menyusuri jalan setapak di tepi sungai. Haejun girang menunjuk-nunjuk kupu-kupu yang beterbangan, sementara Jiyoon memungut batu-batu pipih dan mengayunkannya ke permukaan air, mencoba menciptakan riak di danau.
Seiring mentari meninggi, udara yang tadinya sejuk kini mulai terasa hangat. Dari sekeliling tenda, aroma masakan pedas dan gurih yang menggoda terbawa angin, menandakan waktu makan siang sudah tiba. Hana tersenyum lega. Ia menjauhkan pandangan sejenak dari panci sup dan melihat Haejun serta Jiyoon berlarian riang bersama anak-anak lain di lapangan perkemahan. Setelah memastikan semua hidangan siap, Hana mencuci tangannya dan melangkahkan kaki menghampiri mereka.
Namun, pandangannya mendadak terpaku pada Jiyoon yang berlari terlalu kencang. “Jiyoon-ah! Pelan-pelan!” seru Hana, suaranya tercekat di tenggorokan.
Bruk!
Tiba-tiba, Jiyoon menabrak seorang pria yang sedang berdiri diam di tepi danau. Pria itu memiliki postur tubuh yang ramping dan berotot, serta wajah yang tertutup rapat oleh topi dan kacamata hitam. Tabrakan mendadak itu jelas mengejutkan si pria—ia sedikit terhuyung. Dalam sekejap, Jiyoon sudah meringis sambil terduduk di atas rumput dingin.
“Aduh, sakit!” rintih Jiyoon, sambil memegangi lututnya. Air mata mulai menggenang.
Pria itu langsung berjongkok, gerakannya cepat dan cekatan, tanpa melepas topinya. “Ada yang sakit?” tanyanya. Suaranya terdengar lembut dan khawatir.
Haejun segera mendekati adiknya, wajahnya penuh kekhawatiran. Sementara itu, Hana, yang menyaksikan seluruh kejadian itu, berlari kencang, menembus kerumunan kecil yang mulai terbentuk.
Begitu sampai, Hana berlutut di samping Jiyoon, mengabaikan si pria. “Jiyoon-ah, ada yang sakit?” tanyanya, suara penuh kepanikan.
Jiyoon menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku baik-baik saja, Ma,” jawabnya, meski sedikit terisak.
“Syukurlah,” ucap Hana sambil menghela napas lega. Begitu ia menoleh sepenuhnya memandang pria di depannya, raut wajahnya menunjukkan rasa bersalah.
Tiba-tiba, Jiyoon bangkit dari duduknya, menarik-narik jaket pria itu. “Aku minta maaf sudah menabrak, Ahjussi,” katanya polos dan tulus, lalu membungkukkan badannya.
Pria itu terdiam sejenak, kemudian tersenyum lembut. “Tidak apa-apa,” jawabnya, sambil mengelus kepala Jiyoon dengan sayang. “Yang penting kamu tidak terluka.”
Hana ikut membungkukkan sedikit badannya. “Maafkan anak saya. Dia memang sedikit ... terlalu energik,” ujarnya tersipu.
Sebagai bentuk permintaan maaf yang tulus, Hana menawarkan, “Maukah Anda bergabung makan siang dengan kami?” tawarnya sopan, sedikit ragu.
Pria itu terkejut, diam sejenak menatap Hana lekat, “serius?”