Jihoon melangkah keluar dari lift. Langkahnya yang tegas terhenti di ambang pintu ruang CEO. Udara yang dingin dan kaku langsung sirna saat pandangannya terpaku pada dua siluet kecil di ruang tunggu.
Kedua anak itu larut dalam dunia kecilnya. Mereka serius membaca buku tebal di pangkuan, sesekali tertawa kecil dan berbisik karena guyonan atau permainan yang hanya mereka mengerti.
Pemandangan yang baru pertama kali dilihatnya di lantai eksekutif itu sontak memunculkan seulas kerutan tipis di dahi Jihoon. Lalu, ia segera beranjak dan mendekati Yuri yang langsung berdiri menyambutnya
“Siapa mereka?” tanya Jihoon dingin, lirikan matanya yang tajam menunjuk ke arah dua anak itu.
“Mereka putra dan putri dari Park Hana Sajang-nim,” jawab Yuri, suaranya sedikit tertahan.
“Kenapa mereka ada di sini?” tanya Jihoon datar. Meski nadanya tenang, Yuri dapat menangkap sedikit nada penasaran di sana.
Yuri sedikit mengernyit karena bingung. “Menurut Taeil-ssi, ini adalah perintah dari Choi Sajang-nim,” jawabnya ragu.
Kepala Jihoon sontak terangkat, matanya menatap tajam ke arah Yuri, seolah mencoba mengorek jawaban dari sana. Ia berusaha keras mengingat, apakah ia pernah mengeluarkan perintah aneh—dan tidak perlu—seperti itu.
“Mereka baru pulang sekolah. Karena tidak ada yang menjaga, Taeil-ssi meminta mereka diantar ke sini sambil menunggu Park Hana Sajang-nim menyelesaikan sesi konselingnya,” jelas Yuri, suaranya sedikit melembut saat memecah keheningan yang tegang.
Jihoon mengalihkan pandangan, tatapan dinginnya kini terarah lurus ke ruang konseling. Melalui dinding kaca bening, ia bisa melihat Taeil dan Hana sedang tertawa renyah di sela-sela sesi mereka.
“Belikan mereka makanan di food court,” perintah Jihoon datar, matanya tak lepas dari pantulan kaca. “Masukkan tagihannya ke kartu pribadi saya,” lanjutnya tanpa ekspresi.
Mata Yuri membulat terkejut, terdiam sesaat. “Eh?” bisiknya pelan, tidak percaya. Ia segera membungkuk hormat. “Ah, baik, Choi Sajang-nim.” Tanpa menunggu lagi, Yuri bergegas melaksanakan perintah tak terduga yang datang dari CEO-nya itu.
Jihoon kemudian melangkah cepat menuju ruang kerjanya, di mana anggota Cyber Tyrab sudah berkumpul. Ia berjalan tegak melewati rekan-rekannya menuju mejanya. Tanpa basa-basi, ia melepaskan jas dan dasinya dalam sekali sentakan, menyisakan kemeja putihnya yang sedikit longgar.
“Wah, kharismanya!” seru In Woo dengan mata berbinar penuh kekaguman.
“Ya, tidak heran kalau banyak yang suka sama Jihoon Hyung. Pesonanya sekuat ini,” timpal Taeyang santai, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
“Hyung, aku dengar kamu suka sama Hana Saem, ya?” In Woo bertanya dengan lugu.
Taeyang dan Woojin sontak melotot tajam ke arah In Woo. Mulut mereka kompak bergumam protes tidak jelas, seolah ingin segera membungkam mulut anggota termuda itu.
Jihoon hanya membalas tatapan polos In Woo itu dengan raut wajah datar yang benar-benar tak terbaca. Merasa diintimidasi oleh tatapan itu, In Woo mendadak panik dan kelabakan.
“Ah, itu... tadi kata Jung Ill Hyung, bukan aku!” sanggah In Woo cepat, kedua tangannya terangkat ke atas dalam posisi menyerah.
“Hyung, apa wanita yang kamu bilang saat di perkemahan kemarin itu Hana Saem?” tanya Taeyang. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya penuh rasa penasaran, kini sepenuhnya beralih ke Jihoon yang duduk di seberangnya.
Semua mata tertuju pada Jihoon. Sebuah desahan pelan lolos dari beberapa mulut, menunjukkan ketidakpercayaan mereka.