To Love The Untouchable

Dear An
Chapter #9

Chapter 8 - Campur Tangan Semesta

Jihoon menarik kursinya dan duduk di depan Hana. Punggungnya tegak, jemarinya saling bertaut di atas pahanya, tatapan tajam itu tidak lepas dari Hana. Ia menarik napas panjang, sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu mulai menceritakan jadwalnya yang begitu padat.

Sebagai seorang idola, ia harus menjalani berbagai kegiatan tanpa jeda dari shooting, promosi, dan konser secara terus-menerus. Di samping kesibukan sebagai bintang, ia juga merangkap sebagai CEO. Sesekali, ia harus membagi waktunya untuk mengawasi kinerja kedua perusahaan—Tigerlab dan manajemen Cyber Tyrab—

Sesekali, ia harus meluangkan waktu untuk mengawasi kinerja kedua perusahaan—Tigerlab dan manajemen Cyber Tyrab—menghadiri rapat penting dengan mitra dan perusahaan eksternal, mengatur alur operasional harian, serta mengambil keputusan strategis jangka panjang.

Dua peran yang menyesakkan dan berat itu membuatnya sangat tertekan, hingga berujung pada kondisi insomnia berkepanjangan.

Hana mendengarkan cerita Jihoon dengan tatapan tenang dan saksama. Jemarinya sigap mencatat poin-poin penting pada lembar konselingnya, sebelum kemudian meletakkan pulpennya di atas meja, memastikan fokusnya kini tertuju pada Jihoon.

“Lalu, apa Anda sudah menemukan solusi untuk mengatasi masalah tidur ini, Choi Jihoon-ssi?” tanya Hana dengan nada yang lembut dan penuh perhatian.

Jihoon menggeleng pelan, matanya menerawang kosong. Bibirnya terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu, Namun suara itu tertahan, hanya suara napas berat yang di dengar oleh Hana.

Hana tersenyum tipis. “Faktanya, upaya yang telah Anda lakukan sudah tepat, Choi Jihoon-ssi, seperti menghindari kafein, rutin berolahraga, dan mencoba tidur teratur. Namun, ada satu hal yang terlewat. Saya sarankan Anda menjadwalkan dua minggu sekali, atau minimal sebulan sekali, untuk istirahat penuh. Istirahat yang bebas sepenuhnya dari semua tanggung jawab Anda, baik sebagai idol maupun CEO,” jelas Hana, sikapnya tenang dengan kedua tangan bertaut santai di atas meja.

“Apa itu mungkin bagi saya?” tanya Jihoon, alisnya terangkat, menunjukkan keraguan.

“Tentu saja,” jawab Hana tegas, memajukan tubuhnya sedikit. “Berdasarkan yang saya dengar dan amati, Anda hanya perlu waktu istirahat sejenak untuk menjernihkan pikiran dan hati. Lagi pula, jika Anda khawatir pekerjaan berantakan, bukankah Anda memiliki staf dan bawahan yang kompeten? Untuk urusan Cyber Tyrab, bukankah tanggung jawabnya bisa diserahkan sementara kepada staf?” papar Hana dengan penuh keyakinan.

Jihoon mengangguk, pandangannya sedikit melembut setelah menerima nasihat itu. “Baiklah, saya akan mengecek jadwal terlebih dahulu. Jika ada waktu luang, saya akan mencoba melakukan apa yang Hana Saem sarankan.”

Hana segera menanggapi dengan tegas, tatapannya tajam. “Bukan ‘jika sempat’, Choi Jihoon-ssi, tetapi harus dilakukan.”

Jihoon terkekeh melihat betapa seriusnya Hana. “Baiklah, Hana Saem.”

Senyum lebar segera terlukis di wajah Hana.

“Jadi, apa ada hal lain yang ingin Anda ceritakan atau diskusikan?” tanya Hana lagi, memastikan sesi sudah mencakup semua kekhawatiran Jihoon.

Jihoon mendadak terdiam, lalu menatap Hana dengan pandangan begitu lekat. Merasa diperhatikan sedalam itu, Hana tersipu. Pipinya terasa memanas, lalu ia segera mengalihkan pandangannya dengan gelisah.

“Hana Saem, izinkan saya menanyakan sesuatu yang di luar topik, boleh??” tanya Jihoon.

“Silakan,” jawab Hana, sedikit hati-hati.

Jihoon terdiam cukup lama, hingga Hana semakin bingung.

“Anak-anak kecil yang berada di ruang tunggu, apakah mereka putra-putri Anda?” tanya Jihoon akhirnya, memecah keheningan.

Hana melirik sekilas ke arah ruang tunggu melalui jendela, di mana anak-anaknya bermain. “Iya, benar. Mereka anak-anak saya,” jawab Hana perlahan, suaranya sedikit tegang.

“Jadi, Hana Saem sudah menikah?”

“Ya?” tanya Hana, terkejut. Pertanyaan itu terlalu pribadi dan sama sekali tidak terduga.

Jihoon tidak mengalihkan tatapan dari ekspresi terkejut Hana. Ia diam sejenak, membiarkan keheningan itu terus berlanjut.

“Tentu saja,” jawab Hana, memaksakan senyumnya. “Oh, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Kedatangan anak-anak saya pasti telah merepotkan Anda. Maaf jika ini membuat saya terlihat tidak profesional,” Hana berucap terburu-buru, mencoba mengalihkan pembicaraan kembali ke sesi konseling.

Jihoon menggeleng pelan seraya sedikit menundukkan kepalanya. Entah kenapa, Jihoon merasakan kecewa terhadap jawaban dan sikap Hana, seolah ada sesuatu yang disembunyikan.

Lihat selengkapnya