To Love The Untouchable

Dear An
Chapter #12

Chapter 11 - Luka Batin Berdarah

Napas Hana tersengal, terperangkap di antara isak tangis dan jeritan yang tertahan. Kedua tangannya menggapai, memberontak sia-sia untuk melepaskan diri dari cengkeraman kuat laki-laki tua di hadapannya. Matanya merah dan bengkak, dipenuhi kabut air mata yang tak berkesudahan. Kedua pergelangan tangannya kini menghitam dan memar legam, akibat cekalan yang amat kuat.

“Pak, jangan sentuh, Hana!” rintih Hana, suaranya tercekat dan penuh kesakitan.

“Diam kau, bocah! Siapa suruh kau membungkus diri seperti ini!” bentak pria itu.

Matanya liar, penuh nafsu yang keji. Dengan kekuatan brutal, ia berusaha merobek gamis longgar dan kerudung tebal Hana. Tangannya mencabik setiap helai kain yang menjadi benteng terakhir Hana. Kain itu koyak, menyisakan dingin dan ketakutan yang merayap.

​“Ampun, Pak, ampun...” ratap Hana, suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam keheningan yang mencekam. “Ya Allah, tolong hamba,” jeritnya dalam hati, memohon pertolongan yang terasa mustahil datang.

Hana terus memberontak meski tenaganya sudah terkuras habis. Ia hanya bisa memejamkan mata erat, bibirnya bergerak tak bersuara, meminta pertolongan. Tiba-tiba, tubuh pria yang menindihnya terlempar ke samping dengan hantaman keras. Suara teriakan kemarahan dan pukulan bertubi-tubi langsung menyasar pria tua itu.

Samar-samar, telinga Hana menangkap pertengkaran yang justru lebih menyakitkan daripada pukulan fisik di tubuhnya.

“Siapa suruh anak itu memamerkan tubuhnya di rumah?! Sudah tahu ada suami ibunya!” teriak suara wanita itu—suara yang seharusnya memberikan perlindungan, namun kini justru menusuknya.

“Kau gila! Bisa-bisanya kau bicara seperti itu pada anakmu sendiri! Justru suamimu yang kotor, yang bernafsu melihat anak tirinya sendiri!” balas suara laki-laki paruh baya yang penuh murka.

“Jelas salah dia! Tidak bisa menjaga tubuhnya dengan baik! Saya menyesal sudah membesarkannya, buang-buang uang saja!” hardik Ibu Hana, nadanya dingin, tanpa penyesalan.

“Saya lebih menyesal Hana harus dirawat oleh ibu seperti Anda!” tunjuk laki-laki itu, matanya memerah seolah bola matanya ingin keluar saking merahnya menahan tangis dan kepedihan, melihat putrinya diperlakukan layaknya sampah oleh ibu kandungnya sendiri.

Air mata Hana kembali mengalir, kini bukan karena takut, melainkan karena keterlelahan batin yang akut. Ia sudah lelah dengan siklus tuduhan, pemukulan, dan kebencian yang selalu ia terima dari ibunya, belum lagi pelecehan dari ayah tirinya.

Sebuah tangan lembut merengkuh tubuh Hana yang tergeletak lemah di lantai. Tubuhnya yang mungil ditarik ke dalam pelukan. Air mata hangat menetes perlahan di wajah Hana.

“Maafin Kakak, Hana. Maafin Kakak,” bisik suara laki-laki muda itu berulang kali, nada suaranya hancur.

Hana hanya bisa menggerakkan bibirnya, memanggil “K-Kakak...” namun suara itu tercekat, tertelan di tenggorokannya yang terasa sakit dan panas bekas cekikan.

Flashback Off.

Hana terpekur di tepi pantai. Matanya menatap kosong hamparan laut yang bergelombang, seolah mencerminkan suasana hatinya yang begitu pedih, pilu, dan merana. Ia menelungkupkan kepalanya di antara kedua lutut dan bahunya bergetar. Tangisannya kini telah hening, hanya menyisakan isakan yang menusuk rongga dada. Trauma itu seperti monster yang terperangkap dalam ingatan; luka yang tak pernah disadari, bisa berdarah kapan saja.

Akibat dari masa lalu yang kejam itu, Hana menderita gangguan kecemasan akut. Berdekatan dengan laki-laki adalah pemicu instan; dadanya akan terasa ditekan, napasnya memburu, dan rasa gelisah yang menakutkan akan menguasainya.

Sore itu, ia hanya bisa duduk, menangis dan merenung, berharap perasaan risau dan hampa ini akan hilang ditelan ombak. Sadar bahwa warna langit telah berubah menjadi biru gelap menuju malam, Hana memaksakan diri untuk bangkit. Tiba-tiba, rasa sakit kepala yang menghantam membuat tubuhnya oleng, pandangannya berputar.

Secepat kilat, sebuah tangan kokoh menyambar pinggangnya, menahan tubuh Hana agar tidak jatuh tersungkur ke pasir.

“Hana Saem?”

Hana mendongak. Di depannya, siluet Minwoo terlihat samar, tertutup oleh lapisan air mata yang tersisa. “Minwoo-ssi?” panggilnya, suara seraknya nyaris tak dikenali.

“Anda kenapa? Kenapa begitu pucat dan berantakan seperti ini?” Minwoo menatapnya dengan kekhawatiran yang tulus.

Hana hanya mampu menggelengkan kepala, seluruh tenaganya telah habis. Melihat Hana yang lemah dan wajahnya diliputi kesedihan mendalam, Minwoo tidak bertanya lebih jauh. Ia berjongkok membungkuk dengan tubuhnya yang tegap.

“Naiklah. Saya akan menggendong Anda, Hana Saem.” Suaranya rendah dan meyakinkan.

Lihat selengkapnya