Angin laut yang dingin menerpa wajah Hana. Tatapannya tetap kosong, memandang jauh ke lautan yang mulai memantulkan bias jingga senja. Langkah kakinya terasa berat, menyusuri lembutnya pasir pantai Jeongdongjin, diiringi deburan halus ombak kecil. Di belakangnya, terpisah oleh jarak yang sengaja mereka jaga, Kim Byeol dan Seoyoon—dua psikolog yang merangkap sahabat—mengawasi dengan kecemasan yang tak terucapkan. Mereka tahu, berjalan di pantai adalah salah satu cara Hana melepaskan diri dari “penjara udara” yang mencekiknya.
Langkah Hana terhenti persis di bibir pantai. Ia mendongak, menatap langit yang kini merona indah dengan gradasi oranye, merah maroon, dan ungu. Sayangnya, keindahan itu gagal menghalau bayangan kelam masa kecil yang tiba-tiba menyeruak tajam. Kenangan menyakitkan itu datang menyerbu, seperti sensasi luka lama yang dirobek tanpa aba-aba.
Hana memejamkan mata erat-erat. Ia menarik napas sedalam-dalamnya, berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin, lalu mengembuskannya perlahan, mencoba menaklukkan panic attack yang mulai mencekiknya.
Namun, rasa sakit yang mencekik dan menusuk tiba-tiba muncul di belakang matanya. Hana refleks memegang kepala, sebuah rintihan tertahan keluar dari bibirnya. Pandangannya buram. Pasir, laut, dan langit seolah terisap dan berputar menjadi satu spiral gelap.
Tubuhnya ambruk tak berdaya. Dalam sepersekian detik, sebelum ia sempat menyentuh dinginnya pasir, sosok yang sigap melingkari pinggangnya, menariknya ke dalam dekapan hangat.
Melihat Hana tersungkur, Byeol dan Seoyoon sontak berlari kencang.
“Hana Saem!” Panggilan itu terdengar tegang, sebuah gema kekhawatiran yang nyaris pecah.
“Hana!” seru Byeol dan Seoyoon bersamaan.
Dalam dekapan hangat itu, Hana sempat mendongakkan kepala. Namun, rasa pusing yang menusuk membuatnya tak mampu memfokuskan pandangan pada wajah si penolong. Sarafnya tak kuat lagi menahan nyeri; Hana pun kehilangan kesadaran, terkulai pingsan di pelukan laki-laki itu.
Tanpa membuang waktu, laki-laki itu segera mengangkat tubuh Hana, menopang punggung dan kakinya dalam pelukan. Raut cemas yang dalam terukir jelas di wajahnya.
“Tolong bawa Hana ke Villa, Jihoon-ssi,” pinta Kim Byeol, teman sekaligus psikolog Hana, sambil menuntun langkah Jihoon.
Ketiganya bergegas berlari, menempuh jarak pendek menuju Villa dari garis pantai. Jihoon berlari dengan langkah tergesa; deru napasnya terdengar berat. Meski begitu, ia terus menjaga agar Hana tetap nyaman dalam dekapannya.
Sesampainya di Villa, Jihoon dengan hati-hati membaringkan Hana di atas kasur empuk. Ia menatap wajah Hana yang pucat pasi, sorot matanya kini dipenuhi kecemasan mendalam.
“Kenapa Hana diizinkan berjalan di pantai jika kondisinya seperti ini?” tuntut Jihoon, suaranya tertahan. Tatapannya tak lepas dari Hana yang terbaring.
Byeol menarik kursi, duduk di samping ranjang. “Jika dia terus di dalam, dia akan terus menangis dan terperangkap dalam kepengapan emosional. Dia butuh berjalan-jalan untuk meredakan hawa pengap di sekelilingnya,” jelas Byeol, nada bicaranya tenang namun tegas.
Jihoon berdiri, menatap kedua perempuan itu dengan ekspresi kesal yang kentara. “Tidakkah kalian berpikir ini merepotkan?” desaknya. “Jika tidak ada saya, bagaimana kalian akan membawa Hana yang pingsan?”
Seoyoon, yang berdiri di samping Byeol, menghela napas berat. “Saya juga tidak tahu kenapa kondisinya memburuk drastis. Beberapa bulan lalu dia tidak separah ini. Apakah belakangan ini Hana terlalu banyak bersentuhan dengan laki-laki?” lirihnya, lebih kepada diri sendiri.
“Apa karena fans service kemarin dengan Cyber Tyrab?” tebak Byeol.
“Bisa jadi,” Seoyoon mengangguk sambil membaca kembali diagnosis Hana di tabletnya. “Seperti yang kita tahu, jika Hana berlebihan bersentuhan dengan laki-laki—apalagi yang bukan orang terdekatnya—gejala panic attack dan severe anxiety-nya akan kambuh.”
Keterkejutan terpancar jelas di raut wajah Jihoon. “Apa sentuhan sekecil itu sangat memengaruhi kondisi Hana Saem?”
“Ya,” jawab Byeol singkat. “Bahkan sentuhan yang tidak disengaja pun bisa langsung membuat dada Hana sesak.”
Jihoon mendengus kasar. Ia segera menangkupkan kedua tangan ke wajahnya, gestur penyesalan yang mendalam. Ia teringat jelas sentuhan tak disengaja yang ia lakukan pada Hana. “Lalu, sekarang harus bagaimana?” tanyanya, nadanya berat oleh rasa bersalah.
“Hana harus istirahat total selama dua minggu ke depan,” jawab Byeol. “Setelah itu, dia harus segera kembali bekerja.”
“Kenapa tidak istirahat sampai benar-benar sembuh?” sanggah Jihoon cepat. “Bukankah menangani klien dengan diagnosis yang sama justru akan memperparah keadaannya?”
Byeol menggeleng tegas. “Tidak. Justru dengan kembali ke rutinitas konseling, Hana akan cepat pulih. Dia akan belajar secara perlahan cara meminimalisir anxiety-nya lewat proses empati dan profesionalnya,” jelas Byeol, seolah memberi kesimpulan akhir pada diskusi mereka.
Jihoon hanya terdiam, mencerna penjelasan dari kedua psikolog tersebut. “Kalau begitu, saya tunggu di luar. Biarkan Hana beristirahat terlebih dahulu,” ucap Jihoon sembari perlahan menutup pintu kamar di belakangnya.
Byeol dan Seoyoon saling bertatapan lama. Keduanya merasa aneh dengan kehadiran Jihoon yang tiba-tiba dan betapa kuatnya kekhawatiran yang ia tunjukkan pada Hana. Namun, mereka memutuskan mengesampingkan spekulasi tersebut.
Sambil merapikan selimut, Byeol dan Seoyoon dengan hati-hati melepaskan hijab Hana agar ia dapat beristirahat lebih pulas. Mereka lalu duduk di kursi, larut dalam kesibukan masing-masing tanpa menimbulkan suara.