To Love The Untouchable

Dear An
Chapter #15

Chapter 14 - Ketukan Keras Takdir

Saat Hana melangkah keluar dari ambang pintu kamar, hawa dingin pantai pagi segera menyergapnya. Dengan cepat, ia merapatkan kardigan tipisnya. Langkah kakinya masih terasa sedikit gontai. Sisa kantuk itu masih terasa menempel di kelopak matanya.

​“Sudah bangun, Hana-ssi?” Suara bariton yang hangat nan familier di suasana pagi itu membuat Hana terlonjak. Kelopak matanya mengerjap cepat, otaknya bekerja keras memproses keberadaan sosok yang berdiri di dapur.

​​“Ohh? Jihoon-ssi?” Hana terperanjat.

Postur tegapnya, dibalut kemeja lengan panjang biru navy yang digulung rapi hingga siku, terasa begitu formal dan berseberangan dengan suasana villa yang santai. Ia tampak sibuk menata piring dan mangkuk berisi sarapan di meja makan.

Refleks, ia mengangkat tangan kirinya untuk meraba puncak kepala, memastikan hijabnya terpasang. Begitu sadar bahwa hijab square berwarna taupe sudah melilit dengan aman, barulah rasa terkejutnya menghilang. Ia menghela napas panjang. “Syukurlah,” gumamnya pelan.

Jihoon menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya. Matanya yang hangat dan penuh perhatian menangkap setiap ekspresi Hana. “Kenapa?” tanyanya tersenyum geli. “Apa saya tidak boleh berada di sini?” goda Jihoon.

​Hana tergagap sambil memegangi dadanya, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih kacau. “O-oh, tentu saja boleh,” jawabnya buru-buru. “Saya hanya… terkejut. Saya kira Anda sudah kembali ke Seoul sejak semalam.” Ia lalu menyapu pandang ke sekeliling ruang tamu. “Ngomong-ngomong, Seoyoon dan Byeol… ke mana mereka?”

​Jihoon mengatur sekeranjang roti panggang di tengah meja. “Tadi pagi, saya menyuruh mereka pulang,” jawabnya santai.

​Mata Hana langsung melebar. Ia menoleh cepat pada Jihoon. “Pulang?!” ucapnya setengah berteriajk. “Jadi... siapa yang akan menemani saya di sini? Saya sendirian?” Suaranya bergetar menahan cemas.

​Jihoon berdiri tegak, mengakhiri kegiatannya di meja makan. Ia memutar tubuhnya sepenuhnya menghadap Hana—pandangan mereka pun bertemu. “Saya,” jawabnya dengan lugas.

​Keheningan menyelimuti sejenak. Keraguan segera memenuhi benak Hana. “Tapi…” ucapnya ragu-ragu, tidak mampu melanjutkan kalimatnya.

Jihoon menangkap kekhawatiran yang terpancar dari mata Hana. Ia tersenyum lembut dan meyakinkan. “Tenanglah,” ucapnya, suaranya sedikit merendah. “Saya tahu betul, dalam ajaran agama Anda, seorang wanita tidak boleh berduaan tanpa kehadiran pendamping.”

​Jihoon menatap Hana dalam-dalam. “Karena itu, semalam juga saya sudah menghubungi Park Haneul-ssi, Haejun, dan juga Jiyeon,” jelasnya. “Saya meminta mereka untuk menyusul ke sini.”

​“Sungguh?!” Seru Hana, wajahnya langsung berseri-seri. Kekhawatiran yang ia rasakan lenyap seketika, digantikan oleh kegembiraan yang meluap.

Jihoon mengatupkan bibir, menarik kembali senyumannya, memilih tidak merespons. Ia berbalik, lalu berpura-pura sibuk mengatur letak mangkuk sup, dengan sengaja menghindari tatapan dan pertanyaan yang mengarah padanya.

​“Jihoon-ssi,” panggil Hana dengan suara tegas, menuntut jawaban.

​Mengabaikan panggilan itu sepenuhnya, Jihoon melangkah mendekat dan dengan tenang meraih pergelangan tangan Hana.

​​​“Sebaiknya kita sarapan dulu,” katanya, langsung memotong pembicaraan dan mengalihkan topik.

​Hana menghela napas, menyadari bahwa ia tidak akan mendapatkan jawaban sekarang. Ia melirik tajam ke arah Jihoon, kemudian menyentak pergelangan tangannya dari genggaman Jihoon. “Tidak mau. Aku mau bersih-bersih dulu.”

​Jihoon mengernyitkan kening. “Untuk apa?”

​“Masa Jihoon-ssi sudah rapi, saya masih harus berantakan di depan Anda?” balas Hana, langkahnya sudah menuju kamar tidurnya. “Tolong tunggu sebentar, Jihoon-ssi,” ujarnya sebelum pintu kamar tertutup pelan.

​Jihoon hanya bisa menggelengkan kepala, tersenyum tipis. “Padahal berantakan pun masih cantik,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar ditelan kesunyian pagi dan aroma sarapan.

Tiga puluh menit kemudian, pintu kamar terbuka. Hana melangkah keluar dengan penampilan yang berbeda. Ia mengenakan midi dress A-line berwarna biru langit, dengan lengan panjang bergelombang dan deretan kancing hiasan dari dada hingga ke bawah, dipadukan sempurna dengan hijab pashmina cream yang tergerai anggun.

​​“Makanannya sudah dingin, Hana-ya,” sebuah suara bariton yang tegas dan sangat familier tiba-tiba menyapanya.

​Hana langsung mengenali suara itu. Matanya membesar dan langsung berbinar. “Oppa!” panggilnya senang. Ia bergegas ke arah Haneul yang berdiri melipat kedua tangan di dada dengan ekspresi jenaka. Ia memeluk kakaknya itu dengan erat dan penuh kerinduan.

Haneul membalas pelukan itu seraya tertawa renyah, kemudian mengusap puncak kepala Hana penuh kasih sayang.

​​“Mamah!”

​Dua suara cempreng terdengar serentak, menyerbu dari belakang Haneul. Hana melepaskan pelukan dari Haneul, menunduk, dan langsung merangkul kedua adiknya—Haejun dan Jiyeon—yang sudah ia anggap seperti anak sendiri.

Lihat selengkapnya