Suasana di lorong utama Kantor Harmony mendadak tegang. Bunyi tumit sepatu Hana yang beradu cepat dengan lantai marmer menggema, menciptakan irama yang beradu cepat. Di sampingnya, Miyeon setengah berlari, berusaha menyeimbangkan langkah sambil mencatat instruksi yang dibisikkan Hana tanpa menoleh.
Tak jauh di belakang, Jihoon muncul dengan aura yang tak kalah dingin. Matanya tertuju pada layar tablet, jemarinya bergerak lincah menggeser data, sementara sekretarisnya tampak terengah-engah mengekor di belakang.
Aktivitas para karyawan di sepanjang lorong seketika terhenti. Mereka diam mematung, menyaksikan Hana dan Jihoon berjalan beriringan dalam aura ketegangan yang sama—pemandangan yang sangat langka di kantor itu.
“Itu Choi Jihoon dari Cyber Tyrab, kan?” bisik Sena spontan sambil menutup mulut, suaranya tertahan karena kaget.
“Ada hubungan apa antara Hana Saem dan Jihoon-ssi? Mereka terlihat… sangat dekat.”
Bisik-bisik itu mendadak senyap. Atmosfer di lorong seketika membeku saat perhatian semua orang tertuju ke arah layar monitor besar yang menampilkan berita utama mengejutkan:
[BREAKING NEWS] Aileen, Anggota Girl Group Bloomy, Dilarikan ke Rumah Sakit Setelah Percobaan Bunuh Diri di Apartemennya.
Aileen, anggota girl group Bloomy dari agensi TigerLab—salah satu klien Hana—kini menjadi pusat keguncangan publik. Ia didiagnosis menderita depresi dan kecemasan akut yang berakar pada lingkungan keluarga yang bermasalah.
Di dalam ruangannya, Hana menjatuhkan diri ke kursi dengan wajah memucat. Ia menatap kosong ke layar komputer, mencoba mengatur napasnya yang mulai terasa sesak sementara detak jantungnya bergejolak hebat.
“Bagaimana keadaan Aileen?” tanya Hana. Suaranya sedikit serak, dipenuhi kecemasan.
“Manajernya bilang Aileen belum sadarkan diri. Dokter masih memonitor kondisinya secara intensif di ruang ICU,” jawab Miyeon, wajahnya pun tampak sangat khawatir.
“Hubungi kembali manajernya. Begitu Aileen sadar, saya harus jadi orang pertama yang tahu,” perintah Hana tegas.
Dari seberang meja, Jihoon yang baru saja mengakhiri panggilan teleponnya menatap lurus ke arah Hana. “Hanya Aileen yang perlu kita waspadai?” tanya Jihoon. Suaranya rendah dan dingin, membuat suasana di ruangan itu seketika terasa sangat tegang.
Hana tidak langsung menjawab. Ia menggeser tumpukan berkas di depannya hingga suara kertas yang bergeser itu terdengar jelas di tengah ruangan yang tegang.
“Tidak,” sahut Hana lugas. “Ada satu lagi anggota grupnya, Nayeon. Kondisinya hampir sama—dia menunjukkan gejala depresi karena masalah keluarga. Tapi untuk saat ini, kondisinya masih tergolong ringan.”
Jihoon mengetukkan telunjuknya ke atas meja, menciptakan bunyi yang memecah keheningan ruangan. Ia kemudian mendongak, memberikan tatapan tajam yang langsung membuat sekretarisnya berdiri tegak.
“Hentikan semua jadwal Bloomy. Grup itu akan hiatus total sampai mereka berdua benar-benar pulih,” perintah Jihoon tanpa ragu. Ia menyandarkan punggungnya, memancarkan aura yang dingin. “Amankan mereka malam ini juga ke vila terpencil milik TigerLab di pegunungan. Saya ingin mereka diisolasi dari media. Pastikan fokus mereka hanya pada pemulihan, dan Hana Saem yang akan memegang kendali penuh atas prosesnya.”
Sekretaris Jihoon mengangguk sigap. Jemarinya mulai menari di atas layar tablet, mencatat setiap instruksi dengan gerakan cepat.
Ruangan itu kembali tenggelam dalam keheningan. Hana fokus pada tumpukan berkas di depannya, jemarinya bergerak cepat mencatat poin-poin terapi yang harus segera ia jalankan lagi. Di sisi lain, Jihoon baru saja menerima panggilan mendesak dari Jung Ill. Pria itu menarik napas panjang, berusaha menjaga wajahnya tetap datar—sebuah ketenangan yang sangat berbeda dengan badai masalah yang sedang ia kendalikan dari balik telepon.
Namun, gerakan tangan Hana mendadak berhenti. Matanya terpaku pada satu baris data dalam berkas yang baru saja ia buka. Hana tertegun, tenggorokannya mendadak tercekat. Keyakinan besar yang selama ini ia pegang tentang kesembuhan Aileen seolah runtuh dalam sekejap. Kenyataan pahit itu menghantamnya begitu telak, meninggalkan rasa sesak dan bersalah yang mulai memenuhi dadanya.
Menyadari perubahan mendadak pada raut wajah Hana, Jihoon tidak tinggal diam. Ia meletakkan ponselnya di atas meja, lalu sedikit memajukan tubuhnya. Tatapan matanya yang tadi tajam dan sedingin es, perlahan-lahan melembut—menampilkan sisi tulus yang sangat jarang ia perlihatkan kepada siapa pun.
“Hana Saem,” panggilnya dengan suara rendah yang menenangkan. Ia sengaja menunggu hingga Hana mengangkat wajah dan membalas tatapannya. “Ini bukan salah Anda. Semuanya akan baik-baik saja.”