Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Ida mengemasi alat tulis di atas meja. Memasukkan buku dan penanya ke dalam tas sambil menunggu ruang kelas kosong sebelum berjalan tertatih ke luar kelas.
Di depan ruang kelas, Ida meraih sepatunya dari rak sepatu di samping pintu kelas, lalu mengenakan sepatu itu sebelum berjalan perlahan keluar dari gerbang sekolah. Berbelok ke warung di sebelah bangunan sekolah.
"Mbak, ini berapa?" Ia mengajukan pertanyaan, menunjukkan jepit rambut berbentuk kepala hello kitty berwarna merah muda.
"Tiga ribu."
Ida mengangguk, membayar jepit rambut di tangannya. "Matursuwun, Mbak." Lalu mengenakan jepit rambut itu sebelum bercermin di kaca jendela rumah.
Bagus.
Ida membatin, menatap pantulan dirinya di dalam kaca jendela selama beberapa detik sebelum berjalan pulang.
Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Maya. Teman sebangku sekaligus satu-satunya 'teman'nya di kelas.
"K-kamu belum dijemput?" Ida mengajukan pertanyaan, tangannya saling bertautan saat ia menunduk dengan gugup.
"Belum. Ayo pulang bareng!"
Ida mendongak, menatap Maya selama beberapa detik sebelum mengangguk. Meskipun Maya sering bersikap kasar padanya, mereka berdua sebenarnya bisa dianggap tetangga.
Karena rumah mereka berada cukup jauh dari Sekolah dan tidak memiliki tetangga lain yang berasal dari dusun yang sama, Ida dan Maya sering pulang bersama ketika orang tua Maya terlambat menjemputnya dari Sekolah. Bahkan, seringkali orang tua Maya juga memberinya tumpangan.
Karena itu juga Ida selalu berusaha bersabar dan menerima apapun yang diperbuat Maya padanya.
Mungkin hari ini mereka tidak bernasib baik karena langit mulai mendung di susul gerimis tipis yang perlahan berubah menjadi hujan lebat.
Berteduh di bawah atap rumah orang, Fiya menoleh menatap Maya yang berdiri di sampingnya.
"May, kamu .... " apa kamu mau menunggu hujan reda atau ikut menerobos hujan bersamaku?
Ida melanjutkan di dalam hatinya.
Tetapi karena keakraban mereka akan kondisi ini, Maya sepenuhnya menangkap maksud dibalik ucapan Ida.
"Langsung kayak biasanya. Hujannya kayaknya bakal lama."
Ida mengangguk, mengeluarkan pisau lipat kecil dari dalam tasnya. "Tunggu sebentar!" beritahu nya lalu berjalan ke halaman samping rumah tempat mereka berteduh, memotong batang daun talas, mengetuk ujung batang ke tanah beberapa kali guna menghilangkan getah.
"Ujungnya jangan lupa dipotong, Da. Ati-ati kesabaran petir." Maya mengingatkan sementara Ida mengangguk.
Ia tahu itu.