"Terusno olehmu mbelani Ibumu. Tetusno! Kamu udah tau dari lama Ibumu ndak suka aku dan keluargaku, kamu tau Ibumu terus-terusan nyari kesalahanku. Kamu terus mbelani dia. Kamu nyuruh aku sabar, aku udah sabar! No, salah apa aku hah? Salahku apa?" Suara teriakan disusul tangisan menggema memenuhi Rumah yang bahkan bahkan para tetangga di samping pun bisa mendengarnya.
Sementara itu di dalam rumah, nyala lampu menerangi dua insan dewasa yang tengah bergelut dalam perdebatan. Seorang wanita dewasa berlinang air mata, berdiri dan berteriak pada lelaki yang duduk di sofa, sementara lelaki itu mempertahankan keheningan dengan kening berkerut.
Menghela napas panjang, Suyono menunggu sang istri berhenti berteriak sebelum membalas.
"Udah to Kar, udah. Jangan teriak-teriak lagi, kasian Ida ketakutan," teguran Suyono membuat gadis kecil berkuncir kuda yang tengah menulis sesuatu di sudut sofa mendongak, menatap kosong ke arah kedua orang tuanya yang bertengkar.
Apa sekarang mereka akhirnya ingat masih ada anak kecil di sini?
Ida berpikir.
Menundukkan kepala dan melanjutkan kegiatannya seolah ia sama sekali tidak perduli dengan kondisi saat ini.
Tapi bukannya berhenti, Karsini yang kalut dan tenggelam dalam amarah malah semakin menjadi.
"Kasian? Hah! Kamu masih inget kasian? Di mana kamu saat Ibu ngehina aku hah? Di mana kamu saat Ibumu ngondo aku ngalor-ngidul? Di mana kamu saat Ibumu ngomong Bapakku wong musyrik yang sholatnya ngehadap timur? Di mana kamu, Yon! Di mana?"
"Kar ...."
"Diam!" Karsini berteriak, menyela ucapan Suyono saat ia mulai tertawa sinis. "Sampai kapan kamu mau mbela Ibumu terus? Apa sampai aku mati biar kamu puas dan bisa nikah lagi sama perempuan yang Ibumu suka? Hah! Yono, aku mending mati daripada hidup kayak gini terus!" Setelah mengucapkan kalimat itu, Karsini berlari ke dinding di sampingnya, berusaha membenturkan kepalanya ke dinding saat Suyono dengan gesit menariknya. Memeluknya dari belakang guna mencegah Karsini menyakiti dirinya sendiri.
"Kar. Sadar, kar!" Suyono berusaha menenangkan sang istri yang mengamuk, sementara Ida yang berpura-pura buta dan tuli akhirnya menangis.
"Ibuk, jangan Bu. Jangan!" Ida yang saat itu berusia enam tahun menangis, memeluk kaki sang Ibu dengan segenap tenaga.
Sementara itu seolah menyadari perjuangannya tidak akan berhasil, Karsini menatap kosong ke depan. Tenang, kosong. Terlihat seolah tanpa jiwa dan semangat hidup.
"Yon, apa kurangku selama ini? Aku udah berusaha yang terbaik buat akrab sama Ibu dan keluargamu, tapi dia? Dia selalu mbanding-mbandingkan aku sama istri adikmu." Karsini bergumam tanpa ekspresi. Seolah ia tengah curhat pada Suyono, namun juga seolah berkata pada udara kosong.
".... "
"Yon, Ibu ndak suka aku aku diem. Ibumu ngejelek-jelekin aku, aku sabar. Tapi Yon, Ibumu ngejek orang tuaku, ngomong kalau orang tuaku orang syirik yang sholatnya ngehadap timur. Yon, kamu masih nasehatin aku buat sabar?"
"...."